11 Desember 2010

Mari Terbitkan Surga di Beranda Rumah Kita, Dinda

kurasakan air mata ini kembali menyuburkan bunga cinta di taman hati. Kupersembahkan indah mekarnya untukmu, dinda. Semerbaknya begitu harum, bukan?”

*****

>>Saat itu. . .

Aku sudah mengenalmu karena memang engkau adalah tetangga dekatku. Olehku, benar-benar tak terbayang bahwa engkau kan menjadi kekasih hatiku yang terajut oleh untaian tali pernikahan. Jujur terakui, wajahmu tak terlalu cantik. Namun begitu, sulit pula bagi lidahku untuk kututurkan bahwa engkau jelek rupa. Biasa saja. Bagimu, make-up tak begitu penting. Itu kuketahui karena engkau memang tak pernah memoleskannya di wajahmu.

>>Aku dan Keputusanku…

Engkau adalah wanita sederhana. Iya, wanita sederhana, pintar, tak banyak bicara. Engkaulah wanita yang bersahaja. Terlihat dewasa, pula. Kesederhanaan dan kesahajaan yang engkau peragakan lah yang justru terasa mengusik hati ini. Benar, tak bisa kupungkiri. Tak bisa kututupi. Akhirnya, nyaliku terpercik hebat lalu menghujankan sebuah keputusan. Kupilih engkau menjadi permaisuriku.


>>Sejenak Tentangmu…

Engkau, dinda, bukanlah keturunan orang berpangkat, juga bukan keturunan ningrat. Aku tak peduli. Raga yang terbalut kain-kain penutup aurat dan jiwa yang terpaut akhirat yang kuingini. Terlebihi terpolesi ilmu syar’i. Tekadku sudah bulat. Kupinang engkau dalam waktu dekat.

Engkau, dinda, saat itu baru lulus SMA. Tak kusangka kalau engkau menerima lamaranku dengan tangan terbuka. Bahkan untuk menerimaku, engkau pangkas keinginanmu mencicipi bangku kuliah. Semua gurumu begitu menyayangkan keputusanmu karena engkau termasuk siswa yang cerdas. Aku tak tahu, mengapa engkau memilihku menjadi pangeran yang akan menduduki singgasana hatimu, dinda. Sujud syukurku pada Allah ‘azzawajallah. Alhamdulillah.


>>Percikan Bahagia di Hari Pernikahan…

Dan hari itu pun kita menikah. Terbitlah kebahagiaan yang menyelimuti sanubari. Sempurnalah mekar indah pucuk asmara. Telah tiba saatnya biduk harus berlayar di samudera kehidupan. Terhempas sudah karang-karang penantian yang bertengger di taman hati.

Adakah jalinan yang indah selain jalinan dan untaian tali pernikahan?

Adakah letupan-letupan cinta yang lebih menenteramkan hati sepasang muda-mudi selain dalam ikatan ini?

Adakah hubungan yang lebih menabung kebaikan selain hubungan sah secara syar’i?

Bak sejuknya tanah gersang yang kembali subur setelah dentuman hujan, bak cerahnya dedaunan muda yang indah menghijau bersemi, bak syahdunya kicauan burung menyambut mentari di pagi nan cerah, begitulah pula datangnya kuncup bahagia di hati.


>>Aku Begitu Kagum. . .

Semua terasa mudah dan indah, dinda. Engkaupun merasakan hal yang sama, bukan? Saat itu, usiaku 25 tahun dan engkau baru 19 tahun. Memang masih terlalu muda untuk kalangan umum namun engkau berani mengambil keputusan itu. Engkau berani mengakhiri masa lajangmu di usia dini. Dan tahukah engkau, dinda, itu membuatku semakin kagum padamu.

Dinda tersayang.

Semenjak menikah hingga saat ini, kekagumanku padamu terpupuk subur. Kudapati engkau belum pernah mengeluh tentang keadaan yang kita alami bersama. Padahal engkau sendiri tahu bahwa penghasilanku tak seberapa, kadangkala tak seimbang antara pemasukan dan pengeluaran. Begitu sering kita harus mengikis beberapa keinginan karena kita tak sanggup menggapainya. Benar-benar tak pernah terlihat kristal bening menetes dari pelupuk matamu karena hal itu, dinda.


>>Tetesan Air Mata di Kasur Cinta..


Masih teringatkah olehmu, dinda, saat pertama kali kita arungi bahtera ini di sebuah kontrakan mungil? Sama sekali kita tak punya apa-apa, bahkan alas tidur pun tak ada. Tetapi engkau benar-benar membuktikan kecerdikanmu, dinda.

Seonggok pakaian kita yang masih tersimpan dalam tas usang, kau keluarkan. Engkaupun melipatnya lalu engkau tumpuk dua hingga tiga helai. Engkau kemudian mengaturnya berjejeran. Diatas barisan baju itu, engkau bentangkan jilbab lebarmu. Jadilah kasur cinta ala istriku terkasih.

Sambil menyungging senyum manismu, engkau mempersilahkan aku mengempukkan diri di kasur cinta kita. Kutatap wajah ayumu, dinda. Kufokuskan mataku memandang hitam bola matamu sambil membalasmu dengan senyumku. Beberapa detik kemudian, kurasakan getaran hebat berkecamuk di hati. Dan, dan, dan berlinanglah air mata haruku. Aku cinta. Aku cinta. Aku mencintaimu, dinda.


>>Saatnya Engkau Melahirkan..

Bersamamu, wahai permaisuri hatiku, tak terasa begitu cepat bergulirnya waktu. Dengan penuh kasih, selalu indah nan syahdu terlalui hari-hari,dinda. Kekurangan materi yang terkadang menghantui seakan-akan bukanlah beban manakala kita senantiasa menebalkan keikhlasan di hati. Denganmu, dinda, begitu banyak pelajaran yang kupetik.

Masih ingatkah ketika usia pernikahan kita beranjak setahun, saat tujuh bulan usia kehamilanmu, dinda? Aku begitu panik ketika engkau mengalami pendarahan. Tapi engkau begitu tenang tak gugup. Dari keningmu yang berkerut dan nafasmu yang tertahan, aku tahu engkau sedang menahan sakit yang luar biasa. Segera saja kubawa engkau ke bidan. Dari pemeriksaannya, itu adalah tanda-tanda bahwa engkau akan melahirkan.

Jam 12 malam, saat manusia tengah asyik terlelap, anak pertama kita lahir dengan prematur. Ah, betapa aku bahagia, dinda. Berulang kali, kukecup keningmu dengan kecupan sayang penuh mesra.

>>Segelas Air Putih..

Aku melihat wajahmu melemas. Engkau begitu lelah. Secara perlahan, kau bisiki aku dengan berkata:

“abii…, aku lapeer.”

Tersentak aku mendengarnya, dinda. Ya, seharian tadi engkau tak makan karena kesakitan sejak kemarin. Sore tadi aku hanya membeli sebungkus roti untukmu namun sudah kulahap habis karena tadi engkau tak nafsu makan. Kini tak ada roti atau jajanan lain. Mau beli, jam segini semua toko dan warung sudah tutup.

Alhamdulillah, ada segelas air putih yang dibawakan bidan. Kusuguhkan sendiri untukmu agar kemesraan kita tetap terjalin dan barangkali letihmu akan terkikis. Perlahan, engkau pun meneguknya, dinda. Tak ada tuntutan dan keluhan sedikit pun yang terlontar dari lisanmu. Engkau sungguh mengagumkan, dinda. Aku memuji Allah atas anugerah ini.

Kesahajaanmu benar-benar menggelombangkan air mataku. Melihat semburat bahagia terbit di wajahmu, kembali kurasakan tetesan bening bak kristal itu mengalir syahdu dari pelupuk mataku. Seiring menyusuri lembah hidungku, kurasakan air mata ini kembali menyuburkan bunga cinta di taman hati. Kupersembahkan indah mekarnya untukmu, dinda. Semerbaknya begitu harum, bukan?

Yah, bayi yang menjadi permata hati kita yan selamat dan nampak sehat telah membuatmu lupakan lapar dan dahaga.

>>Engkaulah Penyejuk Hati..

Tahun berganti dan engkau tak pernah berubah. Hampir sepuluh tahun kita bersama dalam bahtera yang penuh dengan kesederhanaan tetapi kita tak pernah lontarkan keluh. Engkau tak pernah tuntut dunia dariku, dinda. Tak pernah minta ini. Tak pernah minta itu. Beli pakaian saja mungkin tiga atau empat tahun sekali. Perhiasan? Tak pernah engkau mengenalnya. Bagimu, bisa memenuhi kebutuhan saja tanpa berhutang sudah lebih dari cukup.

Sungguh, dinda. Aku amat bahagia mengenalmu sosokmu. Aku memuji Allah atas anugerah ini. Engkaulah permata sekaligus belahan jiwa yang menyejukkan hati. Mata akan teduh memandangmu. Engkaulah sebenarnya perhiasan itu, dinda. Semoga engkau selalu tegar menemani hari-hariku hingga kita jelang negeri penuh cinta nan abadi di akhirat nanti.

***



_____________Catatan Editor:

Sejatinya, ini adalah kisah nyata yang tertera dalam buku “Bila Pernikahan Tak Seindah Impian”, penerbit Mumtaza, Solo, 2007, hal 118-122. Kepada penulis buku tersebut yaitu saudara Muhammad Albani (hafidzahullah), kami telah meminta ijin untuk menuturkan dan mengisahkan kembali sekaligus mendaur ulang bahasanya dengan tidak merubah alur kisah.

Kepada sepasang merpati dalam tulisan, semoga jalinan cinta yang terajut dalam kehalalan tersebut tetap terjaga hingga berjumpa dengan wajah Allah di surga, kelak.

Kepada para wanita, selalu kami titipkan nasehat agar merias diri dengan akhlak yang mulia dan membalutkan diri dengan ilmu syar’i. Ketahuilah wahai saudari-saudari kami bahwa salah satu dosa anda sebagai makhluk hawa, seperti yang disebutkan para ulama, adalah keengganan anda untuk menuntut ilmu dien ini. Jadikanlah wanita dalam kisah diatas sebagai salah satu ibrah untuk menapaki jenjang pernikahan. Terakhir, jadilah kalian wanita yang penuh kesahajaan dan selalu merasa cukup dalam dunia. Semoga Allah ‘azzawajalla mudahkan kalian memasuki surga-Nya.


Kepada sauadara-saudara kami, semoga kisah diatas menjadi salah satu percikan-percikan yang akan menerangi jenjang-jenjang kehidupan kita selanjutnya. Semoga Allah tabaraka wata’ala mengistiqamahkan kita di atas sunnah dan manhaj yang ditempuh para pendahulu sehingga kita mampu menjadi pribadi yang shahih berilmu nan mulia berakhlak. Kami rasakan fitnah-fitnah di akhir zaman begitu dahsyat menghantam karang keimanan.
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla illa ha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika.


Salam persaudaraan penuh kehangatan ukhuwah,

Fachrian Almer Akiera

Mataram, Kota Ibadah, menjelang isya’ di hari Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1431 H.

kiriman dari ikhwah dii FB

14 November 2010

Lika-Liku Korupsi Waktu

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ. الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ. وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ

Allah berfirman, yang artinya, “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (Qs. Al-Muthaffifin: 1-3)

Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Muthaffifin adalah orang yang meminta hak mereka secara utuh namun mengurangi hak orang lain. Artinya, mereka mengumpulkan dua sifat, yaitu 'syuhh' dan bakhil. Syuhh adalah menuntut hak secara penuh tanpa ada tawar-menawar, sedangkan bakhil adalah tidak mau melaksanakan kewajiban, yang dalam hal ini adalah menyempurnakan takaran dan timbangan.

Contoh yang Allah berikan dalam ayat ini terkait dengan takaran dan timbangan adalah sekadar contoh, sehingga bisa dianalogkan dengan hal-hal yang serupa. Sehingga setiap orang yang menuntut haknya secara utuh namun tidak mau menunaikan kewajiban dengan baik termasuk dalam ayat di atas.

Semisal seorang suami yang menuntut agar istrinya memberikan hak-hak suami secara utuh dan dengan penuh perhatian, namun giliran hak istri, dia tidak mau menunaikan dan memperhatikannya.

Demikian pula, kita jumpai sebagian orangtua yang menginginkan agar anak-anaknya memberikan hak orangtua dengan utuh, yaitu berbakti kepada orangtuanya dengan harta, badan, dan semua bentuk bakti. Akan tetapi, mereka menyia-nyiakan hak anak mereka dan mereka tidak mau melaksanakan kewajiban sebagai orangtua. Kami katakana bahwa orangtua ini adalah muthaffif, sebagaimana suami model pertama juga muthaffif.” (Tafsir Juz ‘Amma, hlm. 93--95)

Demikian pula, seorang pekerja atau pegawai yang menuntut agar mendapatkan gaji yang utuh, namun datang dan perginya sangat tidak tepat waktu juga termasuk muthaffif yang Allah tegur dengan teguran keras dalam ayat di atas.

عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الأُمَّهَاتِ، وَوَأْدَ الْبَنَاتِ، وَمَنَعَ وَهَاتِ

Dari al-Mughirah bin Syu’bah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan mendurhakai ibu, membunuh anak perempuan, dan mana’a wahat.” (Hr. Bukhari no. 2408, dan Muslim no 4580)

Yang dimaksud “mana’a wahat” adalah tidak mau melaksanakan kewajiban, atau meminta hal yang bukan haknya.

Seorang pegawai yang tidak menunaikan kewajibannya dengan baik, semisal dalam hal disiplin waktu, namun menuntut kompensasi yang lebih tinggi daripada pekerjaan yang dilakukan, dikhawatirkan termasuk dalam hadits di atas.

Syekh Abdul Muhsin al-Abbad, pakar hadits dari kota Madinah saat ini, mengatakan, “Setiap pegawai dan pekerja wajib menggunakan jam kerjanya hanya untuk mengerjakan pekerjaan yang menjadi kewajibannya. Tidak diperbolehkan menggunakan jam kerja untuk urusan lain selain pekerjaan yang menjadi kewajibannya.

Tidak boleh memanfaatkan seluruh jam kerja atau sebagian jam kerja untuk kepentingan pribadi atau kepentingan orang lain, jika tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya. Sesungguhnya, jam kerja tidak lagi menjadi milik pegawai atau pekerja tersebut, namun milik pekerjaan dengan kompensasi gaji yang didapatkan dari pekerjaan tersebut.” (Kaifa Yu`addi al-Muwazhzhaf al-Amanah, hlm. 4)

Al Mu`ammar bin Ali bin al Mu`ammar al-Baghdadi pernah menasihati Nizhamul Mulk, seorang menteri di masanya di Mesjid Jami’ al-Mahdi. Di antara nasihat beliau, “Telah dimaklumi bersama, wahai pemuka Islam, bahwa setiap orang memiliki pilihan tentang apa yang diinginkan dan apa yang akan dilakukan. Jika mau maka dilanjutkan, dan jika tidak mau maka berhenti di tengah jalan.

Adapun orang, dia memiliki jabatan tertentu, sehingga dia tidak memiliki hak pilihan dalam keinginan dan tindakan yang akan dilakukannya, karena orang yang memiliki jabatan di pemerintahan itu, pada hakikatnya adalah buruh yang telah menjual waktunya dengan kompensasi gaji yang diterima.

Oleh karena itu, waktu siang hari (jam kerja) tidak bisa dipergunakan seenaknya sendiri. Dia tidak boleh melakukan shalat sunnah dan beri’tikaf sunnah (pada waktu jam kerja, pent) sehingga dia tidak memikirkan dan mengatur hal-hal yang menjadi kewajibannya. Hal itu dikarenakan, amal-amal tersebut bernilai sunnah sedangkan pekerjaan adalah kewajiban yang harus dikerjakan.

Engkau, wahai pemuka Islam, meski engkau berstatus sebagai menteri namun hakikatnya engkau adalah pelayan masyarakat. Negara telah menggajimu dengan gaji yang besar supaya engkau menggantikan tugas negara di dunia dan di akhirat.

Di dunia untuk mewujudkan kebaikan bagi kaum muslimin, sedangkan di akhirat untuk menjawab pertanyaan Allah. Engkau akan berdiri di hadapan Allah, lalu Allah akan berkata kepadamu, “Telah kuberikan kekuasaan kepadamu untuk mengatur negeri dan rakyat, lalu apa saja yang telah kau lakukan untuk mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan keadilan?” (Dzail Thabaqat al-Hanabilah, karya Ibnu Rajab: 1/43)

Sungguh sangat menyedihkan, banyak kaum muslimin yang melalaikan kewajiban ini. Seorang pegawai atau pekerja dengan santainya seakan tidak merasa berdosa pulang sebelum jam kerja berakhir dan terlambat tiba di tempat kerja, tanpa alasan yang jelas. Demikian pula, seorang guru namun jarang masuk kelas untuk menunaikan kewajibannya sebagai pengajar.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: PengusahaMuslim.Com

13 Oktober 2010

Maksiat Menggelapkan Hati

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Setiap hari tidak bosan-bosannya kita melakukan maksiat. Aurat terus diumbar, tanpa pernah sadar untuk mengenakan jilbab dan menutup aurat yang sempurna. Shalat 5 waktu yang sudah diketahui wajibnya seringkali ditinggalkan tanpa pernah ada rasa bersalah. Padahal meninggalkannya termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa zina. Saudara muslim jadi incaran untuk dijadikan bahan gunjingan (alias “ghibah”).

Padahal sebagaimana daging saudaranya haram dimakan, begitu pula dengan kehormatannya, haram untuk dijelek-jelekkan di saat ia tidak mengetahuinya. Gambar porno jadi bahan tontonan setiap kali browsing di dunia maya. Tidak hanya itu, yang lebih parah, kita selalu jadi budak dunia, sehingga ramalan primbon tidak bisa dilepas, ngalap berkah di kubur-kubur wali atau habib jadi rutinitas, dan jimat pun sebagai penglaris dan pemikat untuk mudah dapatkan dunia. Hati ini pun tak pernah kunjung sadar. Tidak bosan-bosannya maksiat terus diterjang, detik demi detik, di saat pergantian malam dan siang. Padahal pengaruh maksiat pada hati sungguh amat luar biasa. Bahkan bisa memadamkan cahaya hati. Inilah yang patut direnungkan saat ini.

Ayat yang patut jadi renungan di malam ini adalah firman Allah Ta’ala,

كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14)

Makna ayat di atas diterangkan dalam hadits berikut.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ) »

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan "ar raan" yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.”[1]

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah dosa di atas tumpukan dosa sehingga bisa membuat hati itu gelap dan lama kelamaan pun mati.” Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, Qotadah, Ibnu Zaid dan selainnya.[2]

Mujahid rahimahullah mengatakan, “Hati itu seperti telapak tangan. Awalnya ia dalam keadaan terbuka dan jika berbuat dosa, maka telapak tangan tersebut akan tergenggam. Jika berbuat dosa, maka jari-jemari perlahan-lahan akan menutup telapak tangan tersebut. Jika ia berbuat dosa lagi, maka jari lainnya akan menutup telapak tangan tadi. Akhirnya seluruh telapak tangan tadi tertutupi oleh jari-jemari.”[3]

Penulis Al Jalalain rahimahumallah menafsirkan, “Hati mereka tertutupi oleh “ar raan” seperti karat karena maksiat yang mereka perbuat.”[4]

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan perkataan Hudzaifah dalam fatawanya. Hudzaifah berkata, “Iman membuat hati nampak putih bersih. Jika seorang hamba bertambah imannya, hatinya akan semakin putih. Jika kalian membelah hati orang beriman, kalian akan melihatnya putih bercahaya. Sedangkan kemunafikan membuat hati tampak hitam kelam. Jika seorang hamba bertambah kemunafikannya, hatinya pun akan semakin gelap. Jika kalian membelah hati orang munafik, maka kalian akan melihatnya hitam mencekam.”[5]

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Jika dosa semakin bertambah, maka itu akan menutupi hati pemiliknya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan mengenai surat Al Muthoffifin ayat 14, “Yang dimaksud adalah dosa yang menumpuk di atas dosa.”[6]

Inilah di antara dampak bahaya maksiat bagi hati. Setiap maksiat membuat hati tertutup noda hitam dan lama kelamaan hati tersebut jadi tertutup. Jika hati itu tertutup, apakah mampu ia menerima seberkas cahaya kebenaran? Sungguh sangat tidak mungkin. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika hati sudah semakin gelap, maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran.”[7]

Perbanyaklah taubat dan istighfar, itulah yang akan menghilangkan gelapnya hati dan membuat hati semakin bercahaya sehingga mudah menerima petunjuk atau kebenaran.

Ya Allah, tunjukkanlah hati kami ini agar selalu taat pada-Mu dan berusaha menjauhi setiap maksiat yang benar-benar telah Engkau larang, apalagi dosa syirik dan kekufuran. Amin Yaa Mujibbas Saailin.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.


[1] HR. At Tirmidzi no. 3334, Ibnu Majah no. 4244, Ibnu Hibban (7/27) dan Ahmad (2/297). At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[2] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Al Qurthubah, 14/268.

[3] Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7/442.

[4] Tafsir Al Jalalain, Al Mahalli dan As Suyuthi, Mawqi’ At Tafasir, 12/360

[5] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426, 15/283

[6] Ad Daa’ wad Dawaa’, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, hal. 70.

[7] Ad Daa’ wad Dawaa’, hal. 107.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com

01 Agustus 2010

Para Perindu Ramadhan

Apabila benar anda rindu, anda akan mencium bau Ramadhan dari jauh, seperti Nabi Ya’qub mencium Nabi Yusuf karena kerinduan yang menggelora pada putranya itu. Sekiranya anda mencium Ramadhan dan anda kenakan “ pakaiannya”, niscaya hati anda kembali melihat. Seperti pandangan Nabi Ya’qub, terbebas dari pandangan kebutaan karena mencium aroma baju Nabi Yusuf.
Jika benar anda rindu Ramadhan, anda akan membuat persiapan untuk menyambutnya.
Allah berfirman: “ Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, Maka Allah melemahkan keinginan mereka. Dan dikatakan kepada mereka: "Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu." ( QS: At-taubah:46).

Ibnul Qayyim berkata, “ berhati-hatilah terhadap dua perkara, Pertama: kewajiban telah datang, tetapi kalian tidak siap menjalankannya, sehingga kalian mendapatkan hukuman berupa kelemahan untuk memenuhinya dan kehinaan dengan tidak mendapatkan pahalanya……”
Allah berfirman, “Maka jika Allah mengembalikanmu kepada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka katakanlah, “ Kamu tidak boleh keluar bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang pada kali pertama. Karena itu, duduklah bersama orang-orang yang tidak pergi berperang.” (QS. At-Taubah:83).
Kita haruslah berhati-hati dari mengalami nasib seperti ini, yaitu menjadi orang yang tidak berhak menjalankan perintah Allah yang penuh berkah. Seringnya kita mengikuti hawa nafsu, akan menyebabkan kita tertimpa hukuman, berupa tertutupnya hati dari hidayah.
Allah berfirman: “Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaanya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya .”(QS. Al An’am:110).
Itulah sebab pentingya persiapan dalam menyambut kedatangan Ramadhan, sehingga kita tidak dihukum dengan tidak berdayanya kita dalam melakukan kebaikan dan kehinaan dengan tidak boleh menambah ketaatan.
Mari kita renungkan kembali ayat-ayat diatas. Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, lalu Allah melemahkan mereka. Karena tidak ada persiapan dari mereka dan niat mereka pun tidak ada.
Namun, apabila seseorang bersiap untuk menunaikan suatu amal, dan ia bangkit menghadap Allah dengan kerelaan hati, maka Allah tidak menolak hambanya yang datang menghadap-Nya. Sehingga dahulu, generasi salafusshaleh selalu mempersiapkan diri-diri mereka menyambut Ramadhan dengan sebaik-baiknya.
Pada enam bulan sebelum Ramadhan, mereka berdoa agar sampai di bulan Ramadhan. Kemudian enam bulan setelah Ramadhan, mereka berdoa agar kembali bertemu ramadhan. Sehingga sepanjang tahun, kehidupan mereka adalah nuansanya adalah Ramadhan.
Antara Rajab, Sya’ban dan Ramadhan
 Buatlah Persiapan Menyambut Ramadhan.
Aisyah-radhiyallahu’anha berkata: “saya sama sekali belum pernah melihat Rasulullah shalallahuaalaaihi wassalam berpuasa dalam satu bulan, sebanyak yang beliau lakukan dibulan Sya’ban. Didalamnya beliau berpuasa sebulan penuh.” (HR. Muslim).
Menurut riwayat lain, “ Beliau shalallahuaalaaihi wassalam berpuasa di hulan sya’ban kecuali sedikit hari.”
Karenanya, bersiaplah dengan banyak berpuasa, agar jiwa terbiasa dengan puasa. Lakukanlah shalat malam di bulan Sya’ban. Perbanyaklah membaca Al-Quran. Perbanyaklah dzikir kepada Allah sebagai pengantar memasuki Ramadhan.
Sebagian ulama mengatakan bahwa Rajab adalah bulan persemaian. Sya’ban adalah bulan pengairan . adapun Ramadhan, ia adalah bulan memetik buah. Agar buah dapat dipetik di bulan Ramadhan, harus ada benih yang disemai, dan ia harus diairi sampai menghasilkan buah yang rimbun.
 Perbarui Taubat.
Persiapan lain untuk menyambut Ramadhan adalah taubat. Semoga Allah mengaruniakan taubat nasuha kepada kita agar Ia ridha. Karena taubat wajib dilakukan oleh seorang hamba setiap saat.
Allah berfirman: “dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nir:31).

 Agungkan Perintah Dan Larangan Allah
Kita harus memiliki rasa kuatir yang besar, jika kita tetap tidak terbebas dari api neraka meski telah melewati Ramadhan. Bagaimana nasib Bani Israil, tatkala mereka tidak menghormati perintah Allah untuk tidak mencari ikan dihari sabtu? Allah mengubah mereka menjadi kera.
Allah berfirman: “Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, kami katakan kepadanya: "Jadilah kamu kera yang hina.” (QS. Al A’raf:166).
Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah:183).
Ini adalah perintah, kewajiban sekaligus ritual yang agung. Barangsiapa mengagungkannya, dia adalah orang bertakwa. Allah berfirman: “ demikianlah (perintah Allah) dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj:32).
Secara fitrah, hati manusia membenci kemaksiatan, tetapi sebagaimana diketahui, fitrah bisa berubah-ubah, kita harus mengembalikan fitrah ini ke dalam hati bila ia telah hilang, atau memperkuatnya bila ia telah lemah.
Dengannya, seseorang menjadi enggan bermaksiat kapada Allah, khususnya setelah merasakan kondisi keimanan ditengah ibadah puasa. Agar hati terlatih bersikap enggan bermaksiat kepada Allah sebelum Ramadhan datang. Seseorang harus berbaur dengan nilai-nilai ruhiyah yang tinggi, agar hati mengingkari dan berhati-hati atas segala bentuk maksiat, baik lisan, penglihatan, perasaan, maupun anggota badan. Ia juga harus berbaur dengan perenungan Al-Quran dan pemahaman dzikir, meraskan kelezatan munajat dan tunduk dihadapan Allah.
Kesiapan seseorang untuk menyambut Ramadhan ditandai dengan sikap enggan terhadap maksiat. Hal ini bisa dilakukan dengan memperbanyak puasa dan membaca al-Quran. Orang berakal tidak akan terbayang untuk melakukan maksiat kita sibuk dengan ketaatan.

 Latih Kepekaan Pancaindra.
Biasakanlah pancaindra dengan ketaatan. Latih mata untuk melihat mushaf, hindarkan dari memandang yang haram. Latih telinga mendengar Al-Quran, mendengar ilmu. Hindarkan dari mendengar nyanyian-nyanyian haram, perkataan dusta, keji dan kotor. Biasakan lidah memperbanyak dzikir, beramal ma’ruf nahi munkar, berkata jujur dan menyampaikan nasihat kepada kaum mukmin.

 Manusia Akan Bertanggungnjawab Atas Anggota Badan Dan Inderanya Pada Hari Kiamat.
Allah berfirman,” Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra:36).
Karena pancaindra harus dilatih sebagai bentuk persiapan, agar ia tunduk pada anda dibulan Ramadhan. Andapun akan mudah mengendalikannya.

 Perbanyaklah Puasa Pada Bulan Sya’ban.
Dari Aisyah radhiyallahu anha, berkata: “Rasulullah shalallahualaihi wassalam berpuasa hingga kami mengatakan beliau tidak pernah berbuka, dan beliau berbuka hingga kami mengatakan bahwa beliau tidak pernah puasa. Namun Rasulullah shalallahualaihi wassalam pernah berpuasa sebulan penuh, kecuali pada bulan Ramadhan. Dan aku tidak pernah melihat satu bulan yang paling banyak beliau berpuasa kecuali pada bulan Sya’ban.” ( HR. Muslim).
Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang diharamkan mendapatkan berkah Ramadhan, karena Ramadhan telah di depan mata namun kita belum melakukan persiapan.
Wallaahua a’lam.
Sumber: buletin Nur Madinah; (Disarikan dari “Asraarul Muhibbin fii Ramadhan” karya Syekh Muhammad Husain Ya’qub). musafirmuda

24 Juli 2010

Memelihara Hati Dari Penyimpangan Dan Noda

Karena hati sebagai tempat sifat kelembutan yang menjadi faktor berlinangnya air mata, maka apa yang menimpa hati berupa ihwalnya yang berubah-ubah merupakan penyebab yang langsung berpengaruh pada kelembutan ataupun kekerasannya. Sebagaimana telah diketahui, hati dinamai “al-qalbu” disebabkan sifat dan keadaannya yang senantiasa berubah-ubah, sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah shalallahualaihi wassalam dalam sabdanya:
“ Perumpamaan hati seperti bulu-bulu ditengah tanah lapang yang dihembus angin (sehingga beterbangan) membahayakan perut.”1

Dalam hadist lain beliau shalallahualaihi wassalam bersabda :

“ Tiada hati melainkan memiliki semacam awan yang menyelimuti rembulan. Ketika tiada terhalang, ia memancarkan sinarnya, ketika awan datang ia menjadi gelap.” 2
Hati adalah titik tolak dalam menempuh jalan kebenaran … dari itu, ia harus dijaga, dirawat dan dipelihara.
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah berkata : “ Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba menempuh jalan menuju Allah dengan hati dan tekad bajanya dan bukan dengan fisiknya. Hakikat takwa adalah takwanya hati, bukan takwanya anggota badan. Sebab Allah telah berfirman:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya” ( Q.S. Al-Hajj : 37 )

Sedangkan posisi takwa itu adalah dihati… maka orang yang cerdik adalah orang yang menempuh jarak perjalanan (menuju Allah) dengan bekal tekad yang benar, cita-cita yang tinggi serta membersihkan dan menjernihkan niatnya diikuti dengan amal. Hal ini sangat jauh berbeda dengan perjlaanan yang ditempuh oleh orang yang tidak membekali diri dengan sifat-sifat tersebut meski dibarengi jerih payah dan kerja keras. Melaju menuju Allah adalah dengan tekad bulat tujuan yang benar serta keinginan yang membara.” 3 (Musafir muda)
Bada Isya, Rantau 12 Syaban 1431 H/ 24 Juli 2010 M
Keterangan:
1. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad dengan dua sanad yang sama shahih. Periksa kitab ‘Syarhus Sunnah’ 1/164.
2. Dikeluarkan oleh Imam At-Thabarani dalam kitab Al-Ausath dan dihasankan oleh Imam Al-Albani. Lihat Shahih ‘Jami’ As-Shagir’ Juz 2 Hadist No.5682.
3. Terdapat dalam kitab Al-Fawaid’ hal.168
Sumber : Kiat Melembutkan Hati Dan Menangis Karena Allah, Pustaka At-Tibyan


04 Juli 2010

Jangan Sampai Mencela Waktu

Sial banget hari ini, kami selalu kalah jika bertanding pas hari Rabu?", ujar seseorang ketika kalah bertanding futsal.

"Bulan Suro, bulan penuh petaka!", kata seseorang yang sering menaruh sial pada bulan Suro ketika ia dapati berbagai musibah.

Bolehkah mencela waktu seperti itu?

Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

”Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah [45] : 24). Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.

Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu.

Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ’larangan mencela waktu (ad-dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)

Dalam lafadz yang lain, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَقُولُ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَلاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَإِنِّى أَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهُ فَإِذَا شِئْتُ قَبَضْتُهُمَا

”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mengatakan ’Ya khoybah dahr’ [ungkapan mencela waktu, pen]. Janganlah seseorang di antara kalian mengatakan ’Ya khoybah dahr’ (dalam rangka mencela waktu, pen). Karena Aku adalah (pengatur) waktu. Aku-lah yang membalikkan malam dan siang. Jika suka, Aku akan menggenggam keduanya.” (HR. Muslim no. 6001)

An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim (7/419) mengatakan bahwa orang Arab dahulu biasanya mencela masa (waktu) ketika tertimpa berbagai macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang (rusak)-nya harta dan lain sebagainya sehingga mereka mengucapkan ’Ya khoybah dahr’ (ungkapan mencela waktu, pen) dan ucapan celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu.

Setelah dikuatkan dengan berbagai dalil di atas, jelaslah bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla.

Perlu diketahui bahwa mencela waktu bisa membuat kita terjerumus dalam dosa bahkan bisa membuat kita terjerumus dalam syirik akbar (syirik yang mengekuarka pelakunya dari Islam). Perhatikanlah rincian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Al Qoulul Mufid ’ala Kitabit Tauhid berikut.

Mencela waktu itu terbagi menjadi tiga macam:

Pertama; jika dimaksudkan hanya sekedar berita dan bukanlah celaan, kasus semacam ini diperbolehkan. Misalnya ucapan, ”Kita sangat kelelahan karena hari ini sangat panas” atau semacamnya. Hal ini diperbolehkan karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada perkataan Nabi Luth ’alaihis salam,

هَـذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ

”Ini adalah hari yang amat sulit." (QS. Hud [11] : 77)

Kedua; jika menganggap bahwa waktulah pelaku yaitu yang membolak-balikkan perkara menjadi baik dan buruk, maka ini bisa termasuk syirik akbar. Karena hal ini berarti kita meyakini bahwa ada pencipta bersama Allah yaitu kita menyandarkan berbagai kejadian pada selain Allah. Barangsiapa meyakini ada pencipta selain Allah maka dia kafir. Sebagaimana seseorang meyakini bahwa ada sesembahan selain Allah, maka dia juga kafir.

Ketiga; jika mencela waktu karena waktu adalah tempat terjadinya perkara yang dibenci, maka ini adalah haram dan tidak sampai derajat syirik. Tindakan semacam ini termasuk tindakan bodoh (alias ’dungu’) yang menunjukkan kurangnya akal dan agama. Hakikat mencela waktu, sama saja dengan mencela Allah karena Dia-lah yang mengatur waktu, di waktu tersebut Dia menghendaki adanya kebaikan maupun kejelekan. Maka waktu bukanlah pelaku. Tindakan mencela waktu semacam ini bukanlah bentuk kekafiran karena orang yang melakukannya tidaklah mencela Allah secara langsung. –Demikianlah rincian dari beliau rahimahullah yang sengaja kami ringkas-

Maka perhatikanlah saudaraku, mengatakan bahwa waktu tertentu atau bulan tertentu adalah bulan sial atau bulan celaka atau bulan penuh bala bencana, ini sama saja dengan mencela waktu dan ini adalah sesuatu yang terlarang. Mencela waktu bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Hati-hatilah dengan melakukan perbuatan semacam ini. Oleh karena itu, jagalah selalu lisan ini dari banyak mencela. Jagalah hati yang selalu merasa gusar dan tidak tenang ketika bertemu dengan satu waktu atau bulan yang kita anggap membawa malapetaka. Ingatlah di sisi kita selalu ada malaikat yang akan mengawasi tindak-tanduk kita.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (16) إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17)

”Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan para malaikat Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaaf [50] : 16-17)

Semoga Allah memberi taufik untuk menjaga lisan ini dari murka-Nya.
Artikel www.rumaysho.com

15 Juni 2010

Perubahan Dari Titik Nol

Episode-episode keterpurukan itu nampak sangat jelas. Keterpurukan dalam peradaban, ekonomi, budaya dan kekuatan militer persenjataan seperti menjadi sebuah serial yang terus saja berkelanjutan layaknya sebuah pertunjukan film atau sinetron yang selalu menyediakan episode lanjutan. Banyak yang pesimis dan kecut pada akhirnya. Yah, ummat yang –katanya dan seharusnya- gagah menggantungkan izzahnya kepada Allah Azza wa Jalla itu dibuat kecut, pesimis dan rendah diri akibat terlalu banyak menyaksikan serial keterpurukannya sendiri. Akibatnya mereka menjadi kaku. Tidak mampu berdiri. Apalagi bergerak.

Padahal sesungguhnya, jenis kelemahan yang paling dahsyat adalah bila kita dengan penuh ketidakberdayaan menerima dan bersandar pada realitas. Realitas bahwa kita telah terpuruk. Realitas bahwa kekuatan hizb asy syaithan begitu kuat dalam setiap lini. Sungguh, kelemahan yang satu ini sangat menakutkan. Sebab ketika kita semua menjadi manusia yang pasrah dengan kenyataan lalu tidak berbuat apa-apa untuk menghentikan episode kekalahan ini, maka kita akan menjadi sekumpulan prajurit dan ksatria yang kalah sebelum perang mengibarkan benderanya. Sebab jiwa kita telah takluk, bertekuk lutut. Sekuat apapun senjata penghancurmu, bila jiwamu terkulai, jangan pernah bermimpi meraih kemenangan.

alan perubahan (baca : jalan kemenangan) itu sendiri sesungguhnya telah begitu jelas bagi ummat ini. “Dan sungguh benar-benar Allah pasti akan memenangkan siapa yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah itu Maha kuat lagi Maha berkuasa.” (TQS. Al Hajj: 40). Seharusnya seorang mu’min tidak boleh kalah dan takluk di depan keputusasaan atau kerendahdirian. Sebab iman yang ia miliki bersumber dari Sang Rabb yang mengingatkannya,”Dan janganlah kalian merasa hina-rendah, dan jangan (pula) kalian bersedih, sebab kalianlah yang tertinggi bila kalian beriman” (TQS. Ali Imran: 139).
Hanya saja, ummat ini seharusnya tidak pernah lupa akan satu hal. Bahwa kemenangan dan kebangkitan ummat ini tidak akan lahir dengan sebuah mu’jizat. Sebab ia akan terlahir melalui proses sunnatullah. Yah, sunnatullah itu tidak akan mungkin dilanggar. Sunnatullah yang disebutkan oleh Allah Ta’ala ketika menyatakan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (TQS. Ar Ra’d: 11)

Jadi bila engkau bertanya tentang titik awal jalan perubahan dan kemenangan ini, maka jawabnya adalah bahwa ia bermula dari diri kita masing-masing. Adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal –dan sangat disayangkan kesalahan ini diyakini sebagai kebenaran oleh sebagian pelaku pergerakan Islam- bila kita ingin mengubah keadaan tanpa terlebih dahulu melakukan perubahan pada diri para pelaku keadaan itu. Melakukan “pembangunan” ulang dan tarbiyah adalah jalan yang paling tepat untuk mengawali sebuah episode perubahan dan kemenangan. Sebab kunci dasar dari sebuah kebangkitan dan perubahan keadaan ada pada diri manusia. Itulah sebabnya, da’wah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- sepenuhnya tertuju pada pembinaan (tarbiyah) dan penyucian (tazkiyah). “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ‘ummiy’ seorang Rasul, yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah)…”(TQS. Al Jum’ah : 2)

Manusia dengan segala potensi yang dikaruniakan Allah padanya adalah makhluq yang memiliki kemampuan yang dahsyat untuk membuat sejarah. Itu pula sebabnya mengapa Allah Ta’ala memilih mereka untuk mengemban amanah yang paling berat. Amanah yang telah ditawarkan sebelumnya kepada langit, bumi dan gunung –makhluq yang secara fisik jauh lebih besar dari fisik manusia- lalu mereka semua menolaknya. Manusialah yang kemudian –dengan gagah- menerimanya.
Namun manusia pulalah yang menjelma menjadi sosok makhluq yang sangat kompleks. Itulah sebabnya, siapa saja yang meyakini pentingnya membina pribadi pembangun peradaban dan kejayaan ummat ini harus menyadari betul bahwa jalan tarbiyah dan tazkiyah ini adalah jalan yang panjang. Kesabaranmu harus berlipat. Dan nafasmu harus sangat panjang…
Tapi itulah jalannya. Jangan tergesa-gesa menitinya. Persis seperti saat dimana pada suatu ketika Khabbab ibn Al Art –radhiallahu ‘anhu- mengeluh kepada sang Rasul betapa beratnya penindasan kaum musyrik pada mereka dan mempertanyakan mengapa tidak segera meminta pada Allah Ta’ala untuk dimenangkan…Persis seperti jawab sang Rasul yang marah memerah wajahnya,”Sungguh generasi sebelum kalian ada yang disisir kepalanya dengan sisir besi hingga terkoyak dan nampak tulang dari dagingnya, namun itu tak memalingkannya dari agamanya…Lalu diletakkan sebuah gergaji di atas kepalanya, kemudian (kepalanya itu) dibelah hingga menjadi dua, namun itu tidak memalingkannya dari agamanya…Sungguh Allah pasti akan menyempurnakan urusan (agama) ini hingga seseorang dapat berkendara dari Shan’a ke Hadhramaut, ia tidak takut kecuali kepada Allah dan serigala yang akan menerkam dombanya…Tapi kalian adalah orang yang tergesa-gesa…” (HR. Bukhari).

Jadi itulah jalannya. Dan jalan itu belum pernah berhenti. Jalan itu tidak terhenti walau engkau telah mendapatkan kursimu. Jalan itu tidak akan berakhir saat orang-orangmu telah diangkat menjadi menteri. Tidak. Sebab jalan ini hanya akan berhenti ketika engkau telah mengeluarkan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluq menuju penghambaan hanya kepada Sang pencipta seluruh makhluq. Jalan itu akan usai pada satu titik. Pada titik Tauhid. (MIZ)

Sumber: abul-miqdad.blogspot.com


13 Mei 2010

Jangan Lupa saling Berbagi

Ketika telah meraih kesuksesan, kadang seseorang lupa daratan. Ketika bisnis di puncak kejayaan, manusia pun lupa akan kewajiban dari harta yang mesti dikeluarkan dan lupa untuk saling berbagi. Semoga sajian singkat ini bisa memotivasi kita untuk gemar berinfak dan memanfaatkan nikmat harta di jalan yang benar.

Harta Kita Hanyalah Titipan Ilahi

Saudaraku ... Perlu engkau tahu bahwa kesuksesan, begitu pula harta yang Allah anugerahkan itu semua hanyalah titipan dari-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al Hadiid: 7)

Ayat ini jelas menunjukkan bahwa harta hanyalah titipan Allah karena Allah Ta’ala firmankah (yang artinya), “Hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” Hakikatnya, harta tersebut adalah milik Allah. Allah Ta’ala yang beri kekuasaan pada makhluk untuk menguasai dan memanfaatkannya.

Al Qurthubi rahimahullah menjelaskan, “Ayat ini merupakan dalil bahwa pada hakekatnya harta itu milik Allah. Hamba tidaklah memiliki apa-apa melainkan apa yang Allah ridhoi. Siapa saja yang menginfakkan harta pada jalan Allah, maka itu sama halnya dengan seseorang yang mengeluarkan harta orang lain dengan seizinnya. Dari situ, ia akan mendapatkan pahala yang melimpah dan amat banyak. ”

Al Qurtubhi rahimahullah sekali lagi mengatakan, “Hal ini menunjukkan bahwa harta kalian pada hakikatnya bukanlah milik kalian. Kalian hanyalah bertindak sebagai wakil atau pengganti dari pemilik harta yang sebenarnya. Oleh karena itu, manfaatkanlah kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya untuk memanfaatkan harta tersebut di jalan yang benar sebelum harta tersebut hilang dan berpindah pada orang-orang setelah kalian. ”[1]

Kisah Motivasi dari Abud Dahdaa

Setelah kita tahu pasti bahwa harta ini hanyalah titipan ilahi dan kita diperintahkan untuk memanfaatkannya dalam kebaikan dan bukan di jalan yang keliru, maka sudah sepatutnya kita mengetahui manfaat dari berinfak di jalan Allah. Satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi kita semua adalah kisah sahabat Abud Dahdaa radhiyallahu ‘anhu.

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa tatkala turun firman Allah Ta’ala,

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ

“Barangsiapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (QS. Al Hadid: 11); Abud Dahdaa Al Anshori mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah Allah menginginkan pinjaman dari kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Betul, wahai Abud Dahdaa.” Kemudian Abud Dahdaa pun berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah tanganmu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyodorkan tangannya. Abud Dahdaa pun mengatakan, “Aku telah memberi pinjaman pada Rabbku kebunku ini. Kebun tersebut memiliki 600 pohon kurma.”

Ummud Dahda, istri dari Abud Dahdaa bersama keluarganya ketika itu berada di kebun tersebut, lalu Abud Dahdaa datang dan berkata, “Wahai Ummud Dahdaa!” “Iya,” jawab istrinya. Abud Dahdaa mengatakan, “Keluarlah dari kebun ini. Aku baru saja memberi pinjaman kebun ini pada Rabbku.”
Dalam riwayat lain, Ummud Dahdaa menjawab, “Engkau telah beruntung dengan penjualanmu, wahai Abud Dahdaa.” Ummu Dahda pun pergi dari kebun tadi, begitu pula anak-anaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terkagum dengan Abud Dahdaa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Begitu banyak tandan anggur dan harum-haruman untuk Abud Dahdaa di surga.” Dalam lafazh yang lain disebutkan, “Begitu banyak pohon kurma untuk Abu Dahdaa di surga. Akar dari tanaman tersebut adalah mutiara dan yaqut (sejenis batu mulia).”[2]

Lihatlah saudaraku! Bagaimanakah balasan untuk orang yang menginvestasikan hartanya di jalan Allah. Lihatlah Abud Dahdaa radhiyallahu ‘anhu, di saat Allah melimpahkan padanya nikmat harta yang begitu melimpah, ia pun tidak melupakan Sang Pemberi Nikmat. Bagaimanakah dengan kita?

Tidak Perlu Khawatir Harta Berkurang

Jika seseorang mengerti dan pahami, investasi dan infak di jalan Allah sama sekali tidaklah mengurangi harta. Cobalah renungkan baik-baik firman Allah Ta’ala,

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39). Lihatlah bagaimanakah penjelasan yang amat menarik dari Ibnu Katsir rahimahullah mengenai ayat ini. Beliau mengatakan, “Selama engkau menginfakkan sebagian hartamu pada jalan yang Allah perintahkan dan jalan yang dibolehkan, maka Allah-lah yang akan memberi ganti pada kalian di dunia, juga akan memberi ganti berupa pahala dan balasan di akhirat kelak.”[3]

Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga disebutkan,

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

“Tidak ada suatu hari pun ketika seorang hamba melewati paginya kecuali akan turun (datang) dua malaikat kepadanya lalu salah satunya berkata; "Ya Allah berikanlah pengganti bagi siapa yang menafkahkan hartanya", sedangkan yang satunya lagi berkata; "Ya Allah berikanlah kehancuran (kebinasaan) kepada orang yang menahan hartanya (bakhil)." (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyemangati sahabat Bilal bin Robbah radhiyallahu ‘anhu untuk berinfak dan beliau katakan jangan khawatir miskin. Beliau bersabda,

أَنْفِقْ بِلاَل ! وَ لاَ تَخْشَ مِنْ ذِيْ العَرْشِ إِقْلاَلاً

“Berinfaklah wahai Bilal! Janganlah takut hartamu itu berkurang karena ada Allah yang memiliki ‘Arsy (Yang Maha Mencukupi).” (HR. Al Bazzar dan Ath Thobroni dalam Al Kabir. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahihul Jaami’ no. 1512)

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan sendiri bahwa harta tidaklah mungkin berkurang dengan sedekah. Beliau bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

“Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim no. 2558, dari Abu Hurairah)

Makna hadits di atas sebagaimana dijelaskan oleh Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah ada dua penafsiran: [1] Harta tersebut akan diberkahi dan akan dihilangkan berbagai dampak bahaya padanya. Kekurangan harta tersebut akan ditutup dengan keberkahannya. Ini bisa dirasakan secara inderawi dan lama-kelamaan terbiasa merasakannya. [2] Walaupun secara bentuk harta tersebut berkurang, namun kekurangan tadi akan ditutup dengan pahala di sisi Allah dan akan terus ditambah dengan kelipatan yang amat banyak.[4]

Enggan Berinfak, Barokah Harta Bisa Hilang

Dari Asma’ binti Abi Bakr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padaku,

لاَ تُوكِي فَيُوكى عَلَيْكِ

“Janganlah engkau menyimpan harta (tanpa mensedekahkannya). Jika tidak, maka Allah akan menahan rizki untukmu.” Dalam riwayat lain disebutkan,

أنفقي أَوِ انْفَحِي ، أَوْ انْضَحِي ، وَلاَ تُحصي فَيُحْصِي اللهُ عَلَيْكِ ، وَلاَ تُوعي فَيُوعي اللهُ عَلَيْكِ

“Infaqkanlah hartamu. Janganlah engkau menghitung-hitungnya (menyimpan tanpa mau mensedekahkan). Jika tidak, maka Allah akan menghilangkan barokah rizki tersebut[5]. Janganlah menghalangi anugerah Allah untukmu. Jika tidak, maka Allah akan menahan anugerah dan kemurahan untukmu.” (HR. Bukhari no. 1433 dan Muslim no. 1029, 88)

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Janganlah engkau menyimpan-nyimpan harta tanpa mensedekahkannya (menzakatkannya). Janganlah engkau enggan bersedekah (membayar zakat) karena takut hartamu berkurang. Jika seperti ini, Allah akan menahan rizki untukmu sebagaimana Allah menahan rizki untuk para peminta-minta.”[6]

Dalam kesempatan lain, Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Sedekah (zakat) itu dapat mengembangkan harta. Maksudnya adalah sedekah merupakan sebab semakin berkah dan bertambahnya harta. Barangsiapa yang memiliki keluasan harta, namun enggan untuk bersedekah (mengeluarkan zakat), Allah akan menahan rizki darinya. Allah akan menghalangi keberkahan hartanya. Allah pun akan menahan perkembangan hartanya.”[7]

Balasan Di Akhirat Begitu Luar Biasa

Allah Ta’ala berfirman,

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِئَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 261)

Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Ayat ini sangat memotivasi hati untuk gemar berinfak. Ayat ini merupakan isyarat bahwa setiap amal sholih yang dilakukan akan diiming-imingi pahala yang berlimpah bagi pelakunya. Sebagaimana Allah mengiming-imingi tanaman bagi siapa yang menanamnya di tanah yang baik (subur). Terdapat dalam hadits bahwa setiap kebaikan akan dilipatgandakan hingga 700 kali lipat”.[8] Inilah permisalan yang Allah gambarkan yang menunjukkan berlipat gandanya pahala orang yang berinfak di jalan Allah dengan selalu selalu mengharap ridho-Nya.

Jangan Lupakan Kewajiban Terhadap Harta

Setelah kita mengetahui keutamaan menginfakkan harta di jalan yang benar, lalu di manakah kita mesti salurkan harta tersebut?

Pertama, tentu saja harta tersebut digunakan untuk memberi nafkah yang wajib kepada keluarga dan ini diberikan sesuai kemampuan serta mencukupi istri dan anak-anaknya. Allah Ta’ala berfirman,

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath Tholaq: 7)

Perlu juga diketahui bahwa mencari nafkah bisa menuai pahala jika si pencari nafkah (suami) mengharap ridho Allah ketika mencarinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ

“Tidaklah nafkah yang engkau cari untuk mengharapkan wajah Allah kecuali engkau akan diberi balasan karenanya, sampai apa yang engkau masukkan dalam mulut istrimu.” (HR. Bukhari no. 56)

Setelah itu jika ada kelebihan harta jangan lupakan untuk menyalurkan harta tersebut pada sedekah yang wajib yaitu zakat yang diserahkan pada orang yang berhak menerima. Ini dilakukan jika memang telah memenuhi nishob (ukuran minimal zakat) dan telah sampai satu haul (satu tahun). Kewajiban ini jangan sampai dilupakan oleh orang yang punya kelebihan harta. Kewajiban ini tentu saja lebih didahulukan dari infak lainnya yang hukumnya di bawah wajib. Dengan membayar zakat inilah sebab datangnya banyak kebaikan. Sebaliknya, enggan membayar zakat akan datang berbagai musibah dan hilangnya berbagai keberkahan. Salah satu buktinya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَمْ يَمْنَعْ قَوْمٌ زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ , وَلَوْلا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا.

“Jika suatu kaum enggan mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka, maka mereka akan dicegah dari mendapatkan hujan dari langit. Sekiranya bukan karena binatang-binatang ternak, niscaya mereka tidak diberi hujan.” (HR. Thobroni dalam Al Mu’jam Al Kabir (13619). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih Al Jami no. 5204)

Setelah kewajiban di atas, perbanyaklah berinfak dan bersedekah di jalan-jalan kebaikan lainnya. Dengan ini semua akan membuat harta akan selalu lebih berkah di puncak kesuksesan.

Semoga Allah selalu memberi taufik kepada kita untuk menyalurkan harta kita di jalan yang diperintahkan dan jalan yang halal. Semoga Allah senantiasa memberi keberkahan.



Panggang-GK, 29 Jumadil Awwal 1431 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com

[1] Tafsir Al Qurthubi (Jaami’ Li Ahkamil Qur’an), Muhammad bin Ahmad Al Anshori Al Qurthubi, 17/238, Mawqi’ Ya’sub.

[2] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Tafsir surat Al Hadiid ayat 11, 13/414-415, Muassasah Qurthubah. Riwayat ini adalah riwayat yang shahih. Dikeluarkan oleh Abdu bin Humaid dalam Muntakhob dan Ibnu Hibban dalam Mawarid Zhoma’an. Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, 4/377, Darul Fawaid – Dar Ibnu Rojab, cetakan pertama, tahun 1427 H.

[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11/293.

[4] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/141, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, cetakan kedua, 1392.

[5] Lihat tafsiran hadits ini sebagaimana yang disampaikan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, 3/300, Darul Ma’rifah, 1379.

[6] Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Baththol, 4/435-436, Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua, tahun 1423 H.

[7] Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/436.

[8] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2/457

11 April 2010

Obat Penenang Jiwa

Segala puji untuk Allah, Yang telah menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk dan obat bagi hamba-hamba yang beriman. Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada Imam orang-orang yang bertakwa, yang telah menguraikan ayat-ayat-Nya kepada segenap umatnya. Amma ba’du.

Saudaraku, sudah menjadi tabiat manusia bahwa mereka menyukai sesuatu yang bisa menyenangkan hati dan menentramkan jiwa mereka. Oleh sebab itu, banyak orang rela mengorbankan waktunya, memeras otaknya, dan menguras tenaganya, atau bahkan kalau perlu mengeluarkan biaya yang tidak kecil jumlahnya demi meraih apa yang disebut sebagai kepuasan dan ketenangan jiwa. Namun, ada sebuah fenomena memprihatinkan yang sulit sekali dilepaskan dari upaya ini. Seringkali kita jumpai manusia memakai cara-cara yang dibenci oleh Allah demi mencapai keinginan mereka.

Ada di antara mereka yang terjebak dalam jerat harta. Ada yang terjebak dalam jerat wanita. Ada yang terjebak dalam hiburan yang tidak halal. Ada pula yang terjebak dalam aksi-aksi brutal atau tindak kriminal. Apabila permasalahan ini kita cermati, ada satu faktor yang bisa ditengarai sebagai sumber utama munculnya itu semua. Hal itu tidak lain adalah karena manusia tidak lagi menemukan ketenangan dan kepuasan jiwa dengan berdzikir dan mengingat Rabb mereka.

Padahal, Allah ta’ala telah mengingatkan hal ini dalam ayat (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan hati mereka bisa merasa tentram dengan mengingat Allah, ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allah maka hati akan merasa tentram.” (QS. ar-Ra’d: 28). Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa pendapat terpilih mengenai makna ‘mengingat Allah’ di sini adalah mengingat al-Qur’an. Hal itu disebabkan hati manusia tidak akan bisa merasakan ketentraman kecuali dengan iman dan keyakinan yang tertanam di dalam hatinya. Sementara iman dan keyakinan tidak bisa diperoleh kecuali dengan menyerap bimbingan al-Qur’an (lihat Tafsir al-Qayyim, hal. 324)

Ibnu Rajab al-Hanbali berkata, “Dzikir merupakan sebuah kelezatan bagi hati orang-orang yang mengerti.” Demikian juga Malik bin Dinar mengatakan, “Tidaklah orang-orang yang merasakan kelezatan bisa merasakan sebagaimana kelezatan yang diraih dengan mengingat Allah.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 562). Sekarang, yang menjadi pertanyaan kita adalah; mengapa banyak di antara kita yang tidak bisa merasakan kelezatan berdzikir sebagaimana yang digambarkan oleh para ulama salaf. Sehingga kita lebih menyukai menonton sepakbola daripada ikut pengajian, atau lebih suka menikmati telenovela daripada merenungkan ayat-ayat-Nya, atau lebih suka berkunjung ke lokasi wisata daripada memakmurkan rumah-Nya.

Perhatikanlah ucapan Rabi’ bin Anas berikut ini, mungkin kita akan bisa menemukan jawabannya. Rabi’ bin Anas mengatakan sebuah ungkapan dari sebagian sahabatnya, “Tanda cinta kepada Allah adalah banyak berdzikir/mengingat kepada-Nya, karena sesungguhnya tidaklah kamu mencintai apa saja kecuali kamu pasti akan banyak-banyak menyebutnya.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 559). Ini artinya, semakin lemah rasa cinta kepada Allah dalam diri seseorang, maka semakin sedikit pula ‘kemampuannya’ untuk bisa mengingat Allah ta’ala. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan kondisi batin kita yang begitu memprihatinkan, walaupun kondisi lahiriyahnya tampak baik-baik saja. Aduhai, betapa sedikit orang yang memperhatikannya! Ternyata, inilah yang selama ini hilang dan menipis dalam diri kita; yaitu rasa cinta kepada Allah…

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Pokok dan ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok penghambaan dan penyembahan kepada-Nya. Bahkan, itulah hakekat dari ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya kepada Allah mengalahkan rasa cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu atasnya, yang membuat segala perkara yang dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan bisa menggapai kebahagiaan dan kemenangannya.” (al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)

Kalau demikian keadaannya, maka solusi untuk bisa menggapai ketenangan jiwa melalui dzikir adalah dengan menumbuhkan dan menguatkan rasa cinta kepada Allah. Dan satu-satunya jalan untuk mendapatkannya adalah dengan mengenal Allah melalui keagungan nama-nama dan sifat-sifat-Nya dan memperhatikan kebesaran ayat-ayat-Nya, yang tertera di dalam al-Qur’an ataupun yang berwujud makhluk ciptaan-Nya. Syaikh Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya rasa cinta kepada sesuatu merupakan cabang dari pengenalan terhadapnya. Maka manusia yang paling mengenal Allah adalah orang yang paling cinta kepada-Nya. Dan setiap orang yang mengenal Allah pastilah akan mencintai-Nya. Dan tidak ada jalan untuk menggapai ma’rifat ini kecuali melalui pintu ilmu mengenai nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Tidak akan kokoh ma’rifat seorang hamba terhadap Allah kecuali dengan berupaya mengenali nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang disebutkan di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah…” (Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa as-Shifat, hal. 16)

Hati seorang hamba akan menjadi hidup, diliputi dengan kenikmatan dan ketentraman apabila hati tersebut adalah hati yang senantiasa mengenal Allah, yang pada akhirnya membuahkan rasa cinta kepada Allah lebih di atas segala-galanya (lihat Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa as-Shifat, hal. 21). Di sisi yang lain, kelezatan di akherat yang diperoleh seorang hamba kelak adalah tatkala melihat wajah-Nya. Sementara hal itu tidak akan bisa diperolehnya kecuali setelah merasakan kelezatan paling agung di dunia, yaitu dengan mengenal Allah dan mencintai-Nya, dan inilah yang dimaksud dengan surga dunia yang akan senantiasa menyejukkan hati hamba-hamba-Nya (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 261)

Banyak orang yang tertipu oleh dunia dengan segala kesenangan yang ditawarkannya sehingga hal itu melupakan mereka dari mengingat Rabb yang menganugerahkan nikmat kepada mereka. Hal itu bermula, tatkala kecintaan kepada dunia telah meresap ke dalam relung-relung hatinya. Tanpa terasa, kecintaan kepada Allah sedikit demi sedikit luntur dan lenyap. Terlebih lagi ‘didukung’ suasana sekitar yang jauh dari siraman petunjuk al-Qur’an, apatah lagi pengenalan terhadap keagungan nama-nama dan sifat-Nya. Maka semakin jauhlah sosok seorang hamba yang lemah itu dari lingkaran hidayah Rabbnya. Sholat terasa hampa, berdzikir tinggal gerakan lidah tanpa makna, dan al-Qur’an pun teronggok berdebu tak tersentuh tangannya. Wahai saudaraku… apakah yang kau cari dalam hidup ini? Kalau engkau mencari kebahagiaan, maka ingatlah bahwa kebahagiaan yang sejati tidak akan pernah didapatkan kecuali bersama-Nya dan dengan senantiasa mengingat-Nya.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Akan tetapi ternyata kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia, sementara akherat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. al-A’la: 16-17). Allah juga berfirman mengenai seruan seorang rasul yang sangat menghendaki kebaikan bagi kaumnya (yang artinya), “Wahai kaumku, ikutilah aku niscaya akan kutunjukkan kepada kalian jalan petunjuk. Wahai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (yang semu), dan sesungguhnya akherat itulah tempat menetap yang sebenarnya.” (QS. Ghafir: 38-39) (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 260)

Apabila engkau menangis karena ludesnya hartamu, atau karena hilangnya jabatanmu, atau karena orang yang pergi meninggalkanmu, maka sekaranglah saatnya engkau menangisi rusaknya hatimu… Allahul musta’aan wa ‘alaihit tuklaan.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

11 Maret 2010

Dakwah Jalan hidupku….

Ikhwah sekalian Dakwah ini tidak mengenal sikap ganda, ia hanya menegenal satu sikap yaitu totalitas. Siapa yang bersedia untuk itu maka ia harus hidup bersama dakwah dan dakwahpun akan melebur pada dirinya. Sebaliknya barang siapa lemah dalam memikul beban ini maka ia akan terhalang dari pahala besar mujahidin dan tertinggal bersama orang-orang yang duduk-duduk saja lalu Allah Subhanahuwata'ala akan menggantikan mereka dengan generasi yang mampu mengemban dakwahNya.

Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Maidah [5]: 54).

Ikhwah Sekalian…

1. Begitu mulianya dakwah (amar ma'ruf nahi munkar) ini Allah Subhanahuwata'ala sebutkan di Al Qur'an lebih banyak ketimbang perintah haji dan puasa padahal keduanya adalah dua dari lima rukun islam.

2. Dakwah ini merupakan pembeda antara orang-orang munafik dan orang-orang beriman.

Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya[648]. mereka Telah lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik. (QS At Tubah [9]: 67).

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS At Tubah [9]: 71).

3. Dakwah telah diperintahkan sejak sebelum umat Nabi Muhammad Shalallahu'alaihiwasalam, dan menjadi sebab datangnya laknat Allah jika ditinggalkan.

Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS. Al Maidah [5]: 78-79).

4. Dengan dakwah inilah kita merealisasikan umat ini sebagai umat terbaik.

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.(QS. Ali Imran [3]: 110).

Bahkan dalam ayat ini Allah mendahulukan dakwah (amar ma'ruf nahi munkar) daripada iman padahal iman adalah pangkal setiap amal, dikarenakan- Allahu a'lam- Dakwah ini menjadi pagar yang akan membantu menjaga keimanan kita.

Allahu Akbar!!!!! Allahu Akbar!!!!! Allahu Akbar!!!!!

ditulis oleh ustadz abu ayub

02 Maret 2010

Tarbiyah guna membentuk kader-Kader Interaktif

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ (الجمعة:2)

“Dialah yang telah mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.(QS. Al Jumu'ah [62]: 2)

Membangun dan membina merupakan aktivitas positif yang seirama dengan peningkatan kualitas sumber daya insani, namun kadang kala ada pembinaan yang tidak berbanding lurus dengan perubahan ke arah perbaikan, bahkan kontra produktif. Hal ini bukan berarti ada ketidakselarasan antara pembinaan dan keberhasilan, melainkan karena adanya kesalahan dalam proses yang dijalankan. Pembinaan pada hakikatnya merupakan hal penting. Hanya saja pembinaan seperti apa yang kepentingannya itu dapat dirasakan semua pihak. Di situlah yang kadang menjadi akar permasalahan kita bersama.

Ada empat karakteristik terbiyah kita minimal yang perlu diperhatikan agar kita tidak terjatuh pada kesalahan proses, yaitu takwiniyah, istimroriyah, marhaliyah dan syumuliyah. Yang akan coba di bahas kali ini adalah satu dari empat ciri di atas yakni takwiniyah (pembentukan).

Pembentukan merupakan sifat dakwah Rasulullah, sebagaimana firman Allah di awal tulisan ini (surah Al Jumu’ah:2) atau surah Ali Imran:164.

Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.





Bila kita cermati dalam kedua ayat tersebut akan kita temukan tiga pola utama dakwah Rasul, yakni tablig, ta’lim dan takwin. Bermula dengan proses membacakan ayat-ayat Allah kepada mutarabi sehingga mereka menjadi tahu dan sadar. Selanjutnya menyucikan mereka agar mereka berakhlak baik serta mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah sehingga memiliki wawasan yang luas. Dan pada akhirnya mereka terbentuk menjadi kumpulan mutarobi idaman kita, padahal sebelumnya mereka dalam kesesatan yang nyata.

Membentuk adalah menjadikan, mengkader, mencetak atau mengadakan. Bukan hanya sekadar sebuah proses transformasi ilmu. Surah Ali Imran ayat 104 memerintahkan “وَلْتَكُن مِّنْكُمْ …”,“Dan haruslah dibentuk di antara kalian…” Pola akhir pembentukannya adalah umat yakni sekelompok manusia yang siap mengikuti dan memperjuangkan syariat. Tugas umat tersebut adalah mengajak kepada Islam, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.

Pembentukan bukanlah proses sesaat, karena misalnya dibutuhkan waktu lama untuk mengubah kayu menjadi kursi (menggergaji, memahat, mengukir mengamplas, mencat dan sebagainya ). Apalagi manusia, yang tidak begitu saja mau dibentuk. Karena itu dibutuhkan kesabaran yang ekstra untuk tetap dalam kebenaran. Sabar untuk menjauhi maksiat. Sabar dalam musibah dan kesempitan, serta sabar dalam memperbaiki diri dan membina kader-kader kita.

Dalam proses pembinaan minimal ada 3 cara yang harus dilakukan dan ditekuni. Pertama pelatihan. Tidaklah disebut pelatihan bila hanya pemberian teori atau informasi. Memberikan keteladanan dan melibatkan (mengikutsertakan atau menugaskan) adalah bagian dari pelatihan. ketika Hasan dan Hussein berdakwah amaliyah ketika melihat seorang kakek tua salah dalam berwudu adalah contoh bentuk pelatihan. Begitu pula berbagai pendekatan yang dilakukan dewasa ini, seperti daurah juru khotbah, tahsin Al Qur’an, kursus jurnalistik, tata cara penyelenggaraan jenazah, dan sebagainya.

Kedua supervisi. Supervisi merupakan kelanjutan dari pelatihan. Kader-kader yang sudah diberi pengarahan dan diikutsertakan dalam pelatihan (berupa pembiasaan dan penugasan) kemudian diikuti perkembangannya lewat pemantauan dan evaluasi. Ada mutabaah khusus per individu yang dikelola melalui jenjang struktural. Ada pula mutabaah umum yang melibatkan orang luar/masyarakat dalam mengamati dan menilai kader-kader kita. Supervisi akan sangat bermanfaat untuk tercapainya pembentukan kader yang ideal. melihat marhalah dakwah kita idealnya kader harus dibiasakan untuk berinteraksi dengan realitas publik. Mereka akan belajar dari kegagalan dan keberhasilan dalam berinteraksi dengan masyarakat luas yang heterogen. Kader-kader kita harus dibiasakan dengan dinamika kelompok agar mereka lebih dewasa dalam menyikapi berbagai qadhaya (tidak over reaktif = kaget-kagetan). Menjadi tugas murabi semua untuk memantau sepak terjang mereka. Menegur, meluruskan dan memberi penilaian (kritik, masukan juga penghargaan) atas aktivitas sehari-hari mereka.

Ketiga doa. Betapa harus kita akui bahwa kadang kala proses pembentukan yang kita jalankan tidak membawa hasil yang memuaskan. Sekian lama kita membina sejumlah individu, namun tidak terlihat perkembangan yang cukup berarti pada diri mereka. Tahapan-tahapan kegiatan dan rutinitas halaqoh disertai supervisi ternyata belum cukup mengubah jati diri mereka. Maka dalam kondisi ini sudah selayaknya kita mengerahkan segenap upaya dengan memperbanyak doa. Harus terus kita sadari bahwa Allah lah yang memberi hidayah, bukan kita. “Sesungguhnya engkau tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang kau cintai, akan tetapi Allah lah yang memberi hidayah kepada orang-orang yang dikehendakinya dan Allah lebih mengetahui siapa yang mau menerima hidayah.”(QS. Al Qoshosh [28]: 56). Maka tetaplah berharap kepada Allah dalam pembentukan kader-kader kita. Mohonlah terus kebaikan dan keistiqamahan bagi mereka. “…dan berdoalah, sesungguhnya doamu bagi mereka akan menenteramkan mereka”(QS. At Taubah [9]:103).

Bagi yang dibina (termasuk kita tentu saja) mesti tahu diri bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum bila kaum itu sendiri tidak mau mengubah nasibnya (QS. Ar Ra'du [13]:11). Karena itu perlu adanya sifat interaktif, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan dari luar. Siap mengikuti pelatihan dan menjalankan program-program. Bukan hanya ketika ada moment, tetapi interaksi itu sudah membudaya dalam dirinya. Contoh program tarbiyah ruhiyah yang berisi ajakan untuk qiyamul-lail, shaum sunnah dan memperbanyak tilawah. Bagaimana setiap kader mampu berinteraksi dengan program tersebut. Interaksi yang dituntut bukanlah sekadar ketika ada arahan dari murabi, namun di luar moment itu kader-kader kita menjadi sudah terbiasa shaum sunnah, tilawah harian Al Qur’an dan qiyamul-lail. Kader-kader interaktif inilah yang nantinya mampu untuk beradaptasi dengan realitas masyarakat dalam berbagai aspek. Untuk dapat mencapai itu semua tentu saja tetap harus melalui proses panjang pembentukan. Kesungguhan dan keikhlasan para murabi, kedisiplinan dan interaktifnya kader, disertai pelatihan, supervisi dan doa insya Allah akan memunculkan kader-kader dakwah yang mumpuni.

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (التوبة:105)

“bekerjalah kalian, nanti Allah, Rasul dan orang-orang beriman akan melihat hasil kerja kalian…..”(QS. At Tubah [9]:105).

Diambil dari tulisan ustadz abu ayub

12 Februari 2010

6 Kerusakan Valentine’s Day

Alhamdulillahilladzi hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fih kama yuhibbu robbuna wa yardho. Allahumma sholli ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Banyak kalangan pasti sudah mengenal hari valentine (bahasa Inggris: Valentine’s Day). Hari tersebut dirayakan sebagai suatu perwujudan cinta kasih seseorang. Perwujudan yang bukan hanya untuk sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta. Namun, hari tersebut memiliki makna yang lebih luas lagi. Di antaranya kasih sayang antara sesama, pasangan suami-istri, orang tua-anak, kakak-adik dan lainnya. Sehingga valentine’s day biasa disebut pula dengan hari kasih sayang.

Cikal Bakal Hari Valentine

Sebenarnya ada banyak versi yang tersebar berkenaan dengan asal-usul Valentine’s Day. Namun, pada umumnya kebanyakan orang mengetahui tentang peristiwa sejarah yang dimulai ketika dahulu kala bangsa Romawi memperingati suatu hari besar setiap tanggal 15 Februari yang dinamakan Lupercalia. Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama–nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan dijadikan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.

Ketika agama Kristen Katolik menjadi agama negara di Roma, penguasa Romawi dan para tokoh agama katolik Roma mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (The World Book Encyclopedia 1998).

Kaitan Hari Kasih Sayang dengan Valentine

The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” yang dimaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.

Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan Tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.

Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan daripada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (The World Book Encyclopedia, 1998).

Versi lainnya menceritakan bahwa sore hari sebelum Santo Valentinus akan gugur sebagai martir (mati sebagai pahlawan karena memperjuangkan kepercayaan), ia menulis sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikannya kepada sipir penjaranya yang tertulis “Dari Valentinusmu”. (Sumber pembahasan di atas: http://id.wikipedia.org/ dan lain-lain)

Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan:

1. Valentine’s Day berasal dari upacara keagamaan Romawi Kuno yang penuh dengan paganisme dan kesyirikan.
2. Upacara Romawi Kuno di atas akhirnya dirubah menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day atas inisiatif Paus Gelasius I. Jadi acara valentine menjadi ritual agama Nashrani yang dirubah peringatannya menjadi tanggal 14 Februari, bertepatan dengan matinya St. Valentine.
3. Hari valentine juga adalah hari penghormatan kepada tokoh nashrani yang dianggap sebagai pejuang dan pembela cinta.
4. Pada perkembangannya di zaman modern saat ini, perayaan valentine disamarkan dengan dihiasi nama “hari kasih sayang”.

Sungguh ironis memang kondisi umat Islam saat ini. Sebagian orang mungkin sudah mengetahui kenyataan sejarah di atas. Seolah-olah mereka menutup mata dan menyatakan boleh-boleh saja merayakan hari valentine yang cikal bakal sebenarnya adalah ritual paganisme. Sudah sepatutnya kaum muslimin berpikir, tidak sepantasnya mereka merayakan hari tersebut setelah jelas-jelas nyata bahwa ritual valentine adalah ritual non muslim bahkan bermula dari ritual paganisme.

Selanjutnya kita akan melihat berbagai kerusakan yang ada di hari Valentine.

Kerusakan Pertama: Merayakan Valentine Berarti Meniru-niru Orang Kafir

Agama Islam telah melarang kita meniru-niru orang kafir (baca: tasyabbuh). Larangan ini terdapat dalam berbagai ayat, juga dapat ditemukan dalam beberapa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hal ini juga merupakan kesepakatan para ulama (baca: ijma’). Inilah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim (Ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim Al ‘Aql, terbitan Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُونَ ، فَخَالِفُوهُمْ

“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nashrani tidak mau merubah uban, maka selisihlah mereka.” (HR. Bukhari no. 3462 dan Muslim no. 2103) Hadits ini menunjukkan kepada kita agar menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani secara umum dan di antara bentuk menyelisihi mereka adalah dalam masalah uban. (Iqtidho’, 1/185)

Dalam hadits lain, Rasulullah menjelaskan secara umum supaya kita tidak meniru-niru orang kafir. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [hal. 1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman dalam Irwa’ul Gholil no. 1269). Telah jelas di muka bahwa hari Valentine adalah perayaan paganisme, lalu diadopsi menjadi ritual agama Nashrani. Merayakannya berarti telah meniru-niru mereka.

Kerusakan Kedua: Menghadiri Perayaan Orang Kafir Bukan Ciri Orang Beriman

Allah Ta’ala sendiri telah mencirikan sifat orang-orang beriman. Mereka adalah orang-orang yang tidak menghadiri ritual atau perayaan orang-orang musyrik dan ini berarti tidak boleh umat Islam merayakan perayaan agama lain semacam valentine. Semoga ayat berikut bisa menjadi renungan bagi kita semua.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon [25]: 72)

Ibnul Jauziy dalam Zaadul Maysir mengatakan bahwa ada 8 pendapat mengenai makna kalimat “tidak menyaksikan perbuatan zur”, pendapat yang ada ini tidaklah saling bertentangan karena pendapat-pendapat tersebut hanya menyampaikan macam-macam perbuatan zur. Di antara pendapat yang ada mengatakan bahwa “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas.

Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, maka ini berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib (Lihat Iqtidho’, 1/483). Jadi, merayakan Valentine’s Day bukanlah ciri orang beriman karena jelas-jelas hari tersebut bukanlah hari raya umat Islam.

Kerusakan Ketiga: Mengagungkan Sang Pejuang Cinta Akan Berkumpul Bersamanya di Hari Kiamat Nanti

Jika orang mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan keutamaan berikut ini.

Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَتَّى السَّاعَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ

“Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

مَا أَعْدَدْتَ لَهَا

“Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”

Orang tersebut menjawab,

مَا أَعْدَدْتُ لَهَا مِنْ كَثِيرِ صَلاَةٍ وَلاَ صَوْمٍ وَلاَ صَدَقَةٍ ، وَلَكِنِّى أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain di Shohih Bukhari, Anas mengatakan,

فَمَا فَرِحْنَا بِشَىْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – « أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ » . قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّى إِيَّاهُمْ ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ

“Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).”

Anas pun mengatakan,

فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّى إِيَّاهُمْ ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ

“Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”

Bandingkan, bagaimana jika yang dicintai dan diagungkan adalah seorang tokoh Nashrani yang dianggap sebagai pembela dan pejuang cinta di saat raja melarang menikahkan para pemuda. Valentine-lah sebagai pahlawan dan pejuang ketika itu. Lihatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Kalau begitu engkau bersama dengan orang yang engkau cintai”. Jika Anda seorang muslim, manakah yang Anda pilih, dikumpulkan bersama orang-orang sholeh ataukah bersama tokoh Nashrani yang jelas-jelas kafir?

Siapa yang mau dikumpulkan di hari kiamat bersama dengan orang-orang kafir[?] Semoga menjadi bahan renungan bagi Anda, wahai para pengagum Valentine!

Kerusakan Keempat: Ucapan Selamat Berakibat Terjerumus Dalam Kesyirikan dan Maksiat

“Valentine” sebenarnya berasal dari bahasa Latin yang berarti: “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. (Dari berbagai sumber)

Oleh karena itu disadari atau tidak, jika kita meminta orang menjadi “To be my valentine (Jadilah valentineku)”, berarti sama dengan kita meminta orang menjadi “Sang Maha Kuasa”. Jelas perbuatan ini merupakan kesyirikan yang besar, menyamakan makhluk dengan Sang Khalik, menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala.

Kami pun telah kemukakan di awal bahwa hari valentine jelas-jelas adalah perayaan nashrani, bahkan semula adalah ritual paganisme. Oleh karena itu, mengucapkan selamat hari kasih sayang atau ucapan selamat dalam hari raya orang kafir lainnya adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (baca: ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz Dzimmah (1/441, Asy Syamilah). Beliau rahimahullah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal atau selamat hari valentine, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.”

Kerusakan Kelima: Hari Kasih Sayang Menjadi Hari Semangat Berzina

Perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini mengalami pergeseran. Kalau di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat, kemudian di masa Kristen dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama, maka di masa sekarang ini identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. Semua dengan mengatasnamakan semangat cinta kasih.

Dalam semangat hari Valentine itu, ada semacam kepercayaan bahwa melakukan maksiat dan larangan-larangan agama seperti berpacaran, bergandeng tangan, berpelukan, berciuman, bahkan hubungan seksual di luar nikah di kalangan sesama remaja itu menjadi boleh. Alasannya, semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang. Na’udzu billah min dzalik.

Padahal mendekati zina saja haram, apalagi melakukannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’ [17]: 32)

Dalam Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’. Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang.

Kerusakan Keenam: Meniru Perbuatan Setan

Menjelang hari Valentine-lah berbagai ragam coklat, bunga, hadiah, kado dan souvenir laku keras. Berapa banyak duit yang dihambur-hamburkan ketika itu. Padahal sebenarnya harta tersebut masih bisa dibelanjakan untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat atau malah bisa disedekahkan pada orang yang membutuhkan agar berbuah pahala. Namun, hawa nafsu berkehendak lain. Perbuatan setan lebih senang untuk diikuti daripada hal lainnya. Itulah pemborosan yang dilakukan ketika itu mungkin bisa bermilyar-milyar rupiah dihabiskan ketika itu oleh seluruh penduduk Indonesia, hanya demi merayakan hari Valentine. Tidakkah mereka memperhatikan firman Allah,

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’ [17]: 26-27). Maksudnya adalah mereka menyerupai setan dalam hal ini. Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu pada jalan yang keliru.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim)

Penutup

Itulah sebagian kerusakan yang ada di hari valentine, mulai dari paganisme, kesyirikan, ritual Nashrani, perzinaan dan pemborosan. Sebenarnya, cinta dan kasih sayang yang diagung-agungkan di hari tersebut adalah sesuatu yang semu yang akan merusak akhlak dan norma-norma agama. Perlu diketahui pula bahwa Valentine’s Day bukan hanya diingkari oleh pemuka Islam melainkan juga oleh agama lainnya. Sebagaimana berita yang kami peroleh dari internet bahwa hari Valentine juga diingkari di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Alasannya, karena hari valentine dapat merusak tatanan nilai dan norma kehidupan bermasyarakat. Kami katakan: “Hanya orang yang tertutup hatinya dan mempertuhankan hawa nafsu saja yang enggan menerima kebenaran.”

Oleh karena itu, kami ingatkan agar kaum muslimin tidak ikut-ikutan merayakan hari Valentine, tidak boleh mengucapkan selamat hari Valentine, juga tidak boleh membantu menyemarakkan acara ini dengan jual beli, mengirim kartu, mencetak, dan mensponsori acara tersebut karena ini termasuk tolong menolong dalam dosa dan kemaksiatan. Ingatlah, Setiap orang haruslah takut pada kemurkaan Allah Ta’ala. Semoga tulisan ini dapat tersebar pada kaum muslimin yang lainnya yang belum mengetahui. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada kita semua.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Panggang, Gunung Kidul, 12 Shofar 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

14 Januari 2010

Ternyata Ia Bidadari

Hari ini ia sengaja datang ke kampus lebih pagi. Selain karena tak ingin terlambat di kuliah pertama, ia ada janji bertemu dengan Ustdz. Faridz di musholla kampus. Dia tegakkan dua rakaat shalat Tahiyatul Masjid, disusul dengan 4 rakaat shalat Dluha. Lalu dia tengadahkan tangan melantunkan doa.
Dia menyambung ibadah paginya dengan tilawah tartil sambil menunggu Ustdz. datang. Seorang kawan menghampirinya. Dia tutup tilawahnya setelah menyelesaikan satu pojok.



Assalamualaikum Akh Ilham…” sapa sang kawan ramah.
“Waalikumussalam warahmatullah… apa kabar akhi?” jawabnya sambil tak lupa bertanya kabar.


“Alhamdulillah ana bikhoiir… antum sendiri gimana? Kabarnya udah siap nikah nih…” mata sang kawan mengerling menggodanya. Dia cuma tersenyum, tak berniat menanggapi gurauannya.
“Akh, di sini ada bidadari.”


Bidadari? Darahnya berdesir. Ah, bidadari, kesannya indah.

“Sini, ana tunjukkan orangnya. Ini akhwat luar biasa, anak kedokteran, prestasinya brilian, aktivis kampus, ketua pembinaan dan kaderisasi akhwat, akhlaknya mengagumkan, ibadahnya tak diragukan. Dia pembina adik ane. Cocok banget sama antum!” kawannya menjelaskan panjang lebar, membuatnya penasaran.

Lalu, telunjuknya mengarah ke sosok seorang akhwat. Tak lama, yang dibilang bidadari itu sudah terlihat jelas.

“Masya Allah… itu yang dibilang bidadari? Mana ada bidadari hitam legam? Yang kubaca dalam Ibnu Katsir, bidadari itu cantik sekali, kulitnya putih transparan seperti putih telur. Eh, mana ada di dunia yang begitu ya.. paling ga, kuning langsatlah. Masa black begitu. Black sweet sih masih banyak yang mau, ini aku belum lihat sweetnya.” Dia menggerutu dalam hati. Tak berminat meneruskan percakapan.

“Akh, ane ke perpustakaan dulu yaa.. bidadari itu, buat antum aja.” Dia berpamitan.
“lho… sama ane mah ga sekufu akh!”
“Ya udah, assalamualaikum.” Ilham beranjak meninggalkan kawannya. Baru beberapa langkah, seorang marbot memanggilnya. Dan menyerahkan amplop putih titipan dari Ustdz. Faridz. Ustdz tidak bisa datang, makanya amplop itu ia titipkan.

“Hmm… ini biodata akhwat yang dijanjikan Ustdz.” langkahnya mantap menuju perpustakaan, tempat paling aman untuk membuka dan membaca biodatanya.

Dia duduk di sana, mengatur nafasnya yang terengah, bukan karena capek, tapi sibuk menahan deburan dalam dada. Perlahan dia membuka amplop itu, sengaja ia tinggalkan selembar foto di dalamnya, dia akan melihatnya nanti.

“Bismillahirrahmaanirrahiim… “ dia kuatkan hati membaca susunan huruf demi huruf dalam biodata. “Akhwat luar biasa, usianya, dua tahun dibawahku, lumayan, lebih muda. Pendidikan, kedokteran umum XX (sedang koas), Alhamdulillah… ayah dan ummi pasti senang sekali. Sepertinya pas untukku.” Gumannya bahagia. Dia berbunga-bunga. Lalu, diambilnya selembar foto di dalam amplop, ah… sebentar, biar kutenangkan diri… Bismillah…

Ah… kenapa akhwat ini?? Keluhnya. Bunga-bunga yang tadi bermekaran luruh satu persatu, beterbangan diterpa angin. Lunglai tubuhnya seolah tak bertenaga. Sesak memenuhi rongga dada.

Kenapa akhwat ini yang disodorkan padaku? Dia kembali mengeluh. Terbayang kembali akhwat berkulit legam dan sama sekali tidak cantik menurut ukurannya. “Semoga ia bukan jodohku..” doanya lancang. Ustadz… masa sih nyariin aku kayak gini? Kalau kayak gini sih.. aku juga bisa nyari sendiri. Congkak mulai merasuk.

Dikeluarkannya selembar foto. Foto diri yang sangat dibanggakan. Dia menatap mata elang yang mengagumkan. Hidung yang mancung, bentuk muka yang menawan. “Apakah salah jika aku menginginkan akhwat sholihah yang cantik?” Dia mendesah resah.


Dia Memang Bidadari

Ilham berusaha menyerahkan semua keputusan pada Allah. Ia akan berikhtiar dengan wajar dan berdoa dengan kesungguhan. Walau ia belum punya kemantapan namun ia akan mengosongkan perasaan buruk di hatinya. Ia akan berangkat dengan perasaan netral. Ia ingin semua langkah dimulai dengan kebersihan hati, kelurusan niat, ketergantungan yang besar pada Allah, dan kesungguhan ikhtiar. Ia tak ingin mengedepankan nafsu apalagi diiringi segala penyakit yang mengusamkan kalbu.

Taaruf yang ia jalani, bersama ukhti Dede -----nama akhwat yang disodorkan Ustdz. Faridz----- sangat wajar dan biasa saja. Ia didampingi Ustdz. Faridz, sedangkan Dede didampingi istri beliau. Komunikasi berjalan dengan baik, penyatuan persepsi lancar, pengungkapan kondisi keluarga dan latar belakangnya juga lancar.

Ilham merasakan ada yang menarik hatinya. Wajah berkulit hitam itu memendarkan cahaya. Benar kata adiknya, jika berbicara sedap dipandang dan didengar. Inilah relativitas kecantikan, meski ada kecantikan yang diakui semua orang.

Ilham sempat deg-degan dan merasa was-was ikhtiarnya akan gagal ketika orangtua Dede mengujinya.

“Abah sudah dengar tentang kebaikan akhlak dan aktivitasmu. Sekarang Abah ingin mendengar langsung bacaan Quranmu. Abah tak akan menyerahkan putri Abah pada seseorang yang tidak bagus bacaan Qurannya.” Begitulah ujiannya. Alhamdulillah semua lancar dan ia diterima meski banyak catatan.

Hingga tibalah waktu yang dinanti. Hari ini seharusnya Ilham dan keluarganya datang untuk mengkhitbah Dede. Hari ini seharusnya rombongan berangkat dengan wajah berseri. Namun, Allah membuat rencana yang sangat berbeda. Ilham yang semalam penuh diliputi senyum simpul, kini banyak menunduk dan beristighfar.

Sungguh siapa sangka, lamaran kali ini gagal. Dede, sang aktivis dakwah yang telah menjual diri dan jiwanya untuk berjihad fii sabiilillah, pulang ke rumah orang tuanya, bukan untuk dilamar, melainkan untuk dimakamkan.

Takdir Allah terjadi atasnya. Selama ini ia giat berdakwah di sebuah desa tertinggal. Desa yang dahulu nyaris kehilangan keislamannya, bergairah kembali dengan pembinaan rutin dari Dede dan kawan-kawannya. Rupanya, hal itu tidak disenangi oleh misionaris yang selama ini hampir berhasil memurtadkan penduduk desa itu.

Dia dibunuh, dalam perjalanannya sepulang dari baksos di desa itu. Dan ia dibunuh, karena mempertahankan akidahnya. Karena mereka tidak berhasil memaksanya untuk menukar keyakinannya dan meninggalkan aktivitas dakwahnya.

Ilham tercenung menatap tanah merah basah di pekuburan itu. Di dalamnya bersemayam jasad sang mujahidah. Bidadari yang hendak disuntingnya. Semilir angin menghembuskan wangi kesturi, wangi para syuhada.

Dalam desahnya ia bergumam,
“Kau ternyata wanita agung. Kau lebih mulia daripada bidadari. Seorang Ilham tak diizinkan Allah untuk sekedar mengkhitbahmu, apalagi memilikimu. Maafkan aku, yang dulu sempat sombong terhadapmu.” Wajahnya tertunduk dalam.

“Subhanallah… aku tak mengira bahwa kau adalah bidadari yang diturunkan Allah untukku. Allah menurunkanmu bukan untuk kumiliki, tetapi untuk menegurku dari segala kesombongan.” Gumamnya penuh penyesalan.

Dari Group Wahdah Bandung.. Syukran Akh. ^_^

Kiriman dari Lembaga Muslimah Wahdah Bandung