26 April 2009

Berkeluh Kesah Itu Menghentikan


PDF E-mail

Berkeluh kesah merupakan watak dasar yang dibawakan Allah ke dalam anatomi fisik dan jiwa manusia. Sifat bawaan yang dibentukkan pada penciptaan manusia. Ada bakat disana. Semacam modal dari sebuah naluri alami. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya manusia itu diciptakan dalam keadaan berkeluh kesah lagi kikir.” (QS. Al-Ma’arij: 19)

Tetapi lingkungan dan situasi memberi pemicu dan rangsangan yang kuat bagi lahirnya pola hidup yang dibangun di atas sikap keluh kesah. Maka, seperti bakat dan naluri lainnya, keluh kesah juga akan bereaksi terhadap segala pemicu yang muncul dalam kehidupan kita. Meski lingkungan dan situasi itu tidak bisa dituding sebagai biang kesalahan atas munculnya sebuah sikap keluh kesah. “Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir.” (QS. Al-Ma’arij: 20-21)

Di sisi lain, keluh kesah adalah potret ketidakdewasaan, sebab keluh kesah hanya memberi ruang pelampiasan psikologis sesaat atas segala macam kekesalan. Seperti anak-anak kecil yang tergiur dengan merahnya manisan, hanya untuk melampiaskan hausnya sesaat. Tapi sesudah itu, rasa haus datang lebih kencang.

Keluh kesah justru akan menyumbat terbukanya jalan pikiran yang segar, yang dimungkinkan akan memberi temuan-temuan perbaikan atas masalah dan kesulitan yang terjadi. Keluh kesah, hanya layaknya sampah, yang akan menyumbat saluran air.

Tetapi seorang mukmin, punya caranya sendiri yang berbeda untuk menghadapi watak dasar keluh kesah itu. Ia juga mengerti bagaimana cara bereaksi yang benar terhadap segala peristiwa yang menimpanya, yang menyenangkan atau yang menyedihkan. Ia tahu, bahwa pada dasarnya setiap apa yang kita alami, merupakan kumpulan dari takdir Allah. Kita memang diperintahkan untuk ikhtiar. Tetapi apa yang terjadi, adalah apa yang memang diizinkan Allah. Di saat itu sebuah ikhtiar bertemu dengan izin Allah.

Perhatikan lanjutan dari ayat di atas, “Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta). Dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya…” (QS. Al-Ma’arij: 22-27)

Seorang mukmin yang telah diciptakan dengan watak dasar itu, menghiasi dirinya dengan berbagai macam bentuk prinsip keimanan. Seperti dijelaskan ayat di atas. Ia mengerjakan shalat dan menjaganya. Ia berbagi dengan sesama. Dan ia menanamkan di lubuk hatinya yang paling dalam tentang kesudahan yang abadi, di hari pembalasan kelak. Keyakinan akan hari akhir itu sendiri, akan memberi stimulasi dan penyadaran yang luar biasa bagi jiwa seorang mukmin. Ia begitu stabil dalam memandang bahwa apapun yang terjadi di dunia ini hanya laksana hari yang telah berlalu, atau akan berlalu. Lalu tiba saatnya kita memasuki gerbang keabadian. Kembali ke kampung akhirat.

Pada akhirnya, keimananlah yang bisa mengatasinya. Di sini, iman berfungsi sebagai kanal pengalih, yang mengalihkan keluh kesah menjadi kehati-hatian. Kadang ia menjadi tembok pembatas yang menghalangi munculnya ledakan naluri yang tidak sehat, atau kadang sebagai pendingin yang menurunkan suhu naluri buruk yang ada pada jiwa kita. Atau paling tidak mengubahnya menjadi tabiat kekhawatiran yang positif.

Ada perbedaan antara keluh kesah dengan kekhawatiran positif. Keluh kesah, senantiasa bermakna duniawi, sedang kekhawatiran bisa bermakna ukhrawi. Artinya, seorang mukmin bisa sangat khawatir dengan apa yang dilakukannya di dunia. Seperti kekhawatiran akan nasib amal dan kehidupan kelak kita di akherat. Kekhawatiran apakah amalannya diterima atau tidak, apakah dosanya diampuni atau tidak, apakah kesalahannya dimaafkan atau tidak.

Kekhawatiran itu lantas memicu semangat baru untuk berbuat lebih baik, untuk memilih jalan yang lurus. Kekhawatiran itulah yang biasa dimiliki orang-orang shalih dahulu. Maka kekhawatiran itu menggerakkan dan menghidupkan, sedangkan keluh kesah itu menghambat dan membekukan semangat.

Rahasia orang-orang tegar dan sukses dalam membunuh keluh kesah, terletak pada kemampuannya membangun paradigma berpikir, pada tataran kepribadiannya yang sangat mendasar. Ia bisa berbicara dengan dirinya, berkata dengan hatinya, lalu dengan itu ia mengendalikan jiwanya. Akan tetapi, mata air itu semua terletak pada iman, kata hati yang bersih, dan nalar yang terarah. Itulah yang menjadi pemandu bagi dirinya, dalam menghadapi segala kondisi hidup yang sangat berat ini.

by Andi Rahmanto (belajarislam.com)

Sumber:

Majalah Tarbawi Edisi 98 Th. 6, 9 Desember 2004

25 April 2009

Berhentilah Berpikir “Aku Tidak Bisa”


PDF E-mail
Written by Andi Rahmanto


Menyembunyikan pikiran kerdil di dalam hati tetap akan terpancar kelemahan diri. Pikirkan keberhasilan, walaupun kita tidak mengucapkannya. Dan rasakan, dunia akan terasa lebih terang.

Hal utama yang membedakan antara orang yang berhasil dengan orang yang gagal dalam kehidupan ini adalah perbedaan cara berpikir. Orang yang gagal bukan berarti tidak punya kemampuan untuk berhasil. Orang gagal semata-mata karena mereka tidak mempunyai ide atau pikiran yang memungkinkan untuk berhasil.

Untuk mengetahui mengapa seseorang gagal dalam hidupnya, dapat kita lihat dari apa yang mereka pikirkan dan katakan. Apa yang terjadi kalau seseorang mengatakan, “Beginilah nasibku. Aku sudah menjalani kehidupan seperti ini dari tahun ke tahun dan tak banyak perubahan yang terjadi padaku. Ini sudah nasibku.” Kalau seseorang mengatakan seperti itu, maka dia sudah menutup pikirannya dan menutup segala kemungkinan untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Pikiran, perasaan, dan perkataan kita yang kerdil, akan memancarkan kelemahan pada diri kita.

Orang-orang “kerdil” seperti ini cenderung menyalahkan orang tua atau nenek moyangnya karena membawa bibit keturunan yang kurang baik, atau menyalahkan keluarga yang membesarkannya karena tidak mengajarkan sesuatu yang baik. Atau bahkan menyalahkan lingkungan masyarakatnya hingga orang lain yang berada di ujung dunia pun akan disalahkannya. Pikiran tidak berdaya inilah yang membelenggu seseorang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Merasa tidak berdaya menyebabkan sikap, tindakan, kebiasaan, dan karakternya pun bergerak menuju ketidakberdayaan.

Bagaimana mengubah diri dari pikiran tidak berdaya menuju diri yang sanggup menatap masa depan yang lebih baik, lakukan langkah berikut ini.

Pertama, lenyapkan pikiran tidak berdaya dalam diri dengan alasan apapun. Misalnya, karena pendidikan rendah, tidak punya pengalaman, tidak punya waktu, tidak punya modal, atau alasan lainnya yang serupa.

Kedua, sadari dan yakini bahwa Sang Pencipta telah memberikan anugerah yang luar biasa pada diri kita berupa kesadaran diri, imajinasi, hati nurani, dan kehendak. Jika kita menggunakan anugerah itu dengan optimal dalam kehidupan ini, maka kita akan bisa mencapai cita-cita kita.

Ketiga, pikirkan apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah hidup kita menjadi lebih baik. Manfaatkan dan maksimalkan kemampuan yang ada pada diri kita.

Keempat, mulailah dari hal-hal yang bisa kita lakukan. Hidup ini akan menjadi rumit dan melelahkan jika kita bertindak diluar jangkauan kita. Berpikir dan bertindaklah atas hal-hal yang bisa kita lakukan. Kerjakan sesuatu itu dengan sungguh-sungguh, sekuat tenaga.

Kelima, buatlah komitmen dalam diri kita untuk menjadikan diri kita menjadi manusia pembelajar. Manusia yang memiliki kesadaran diri untuk terus memperbaiki diri dan berani untuk berubah menuju kehidupan yang lebih baik.

Keenam, mulai detik ini, berpikirlah selalu “Aku Pasti Bisa” serta iringi dengan meningkatkan kemampuan (skill) diri.

Ketujuh, berdo’alah (─red).

Sumber:

John Bews, Permainan Berpikir: Jabal

16 April 2009

bagi-bagi rizki

temen-temen yng punya usaha berbeagi yuuk disini