28 Juni 2009

ABDULLAH BIN RAWAHAH (Seorang Panglima yang Tidak Takut Mati)



Abdullah bin Rawahah radhiallahu anhu berkata : “Wahai Jiwaku, Bila Kau Tak Gugur di Medan Perang, Kau Tetap Akan Mati...”

Urwah bin az-Zubair berkata, "Ketika pasukan perang sudah siap untuk menuju Mu’tah, Abdullah bin Rawahah berkata, 'Semoga Allah mencurahkan kebaikan pagi ini dan membela kalian.' Kemudian mengucapkan bait-bait syair berikut ini:

Yang aku minta dari Allah Yang Rahman hanyalah ampunan
Dan memukul musuh sehingga dosaku diampuni
Atau tusukkan pedang di kota Haran
Yang dapat menembus jantung hati musuh
Mereka berkata saat melewati jasadku
Allah menunjukkan panglima itu untuk syahid.

Pasukan Islam terus berjalan sehingga tiba di wilayah Syam. Kemudian sampai berita di tengah-tengah kaum Muslimin bahwa Heraklius telah tiba di Balqa’ dengan 100. 000 pasukan tentara Romawi. Kabilah Arab Musta’ribah pun bergabung bersama mereka seperti kabilah Lakhm, Judzam, Balqain, Bahran dan Balya yang berjumlah 100.000 pasukan. Pasukan Muslimin bertahan selama dua hari untuk mengatur strategi perang.

Di antara para sahabat ada yang mengusulkan, "Kita menulis surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memberi tahu tentang jumlah pasukan musuh."

Abdullah bin Rawahah tidak setuju, beliau memberi semangat kepada kaum muslimin, "Demi Allah, wahai pasukanku, sadarilah kembali bahwa perjuangan yang tidak engkau sukai kali ini adalah perjuangan yang karenanya semula kalian ingin ikut serta. Ketahuilah, yang kalian cari adalah mati syahid. Kita memerangi musuh ini bukan berdasar bilangan tentara… kekuatan musuh ataupun banyaknya jumlah mereka… Kita memerangi mereka hanyalah karena mempertahankan agama ini yang dengannya Allah memuliakan kita… majulah… Pasti yang akan kita peroleh adalah salah satu dari dua kebaikan, kemenangan atau mati syahid …!!"

Kaum muslimin menyahut, "Sungguh, demi Allah, benarlah yang diserukan Ibnu Rawahah." Demikianlah pasukan Islam terus menuju medan perang.

Terdapat riwayat dari Zaid bin Arqam dia berkata, "Aku salah satu anak yatim yang diasuh Abdullah bin Rawahah. Suatu hari beliau dalam perjalanan pernah memboncengkan aku dibelakang kudanya. Demi Allah, sepanjang perjalanan malam itu, aku mendengar beliau mengucapkan syair-syair seperti berikut,

'Ketika aku siapkan bekal kepergianku untuk perang
Sejauh perjalanan 4 farsakh dari kota Hasa’
Sementara kamu bersenang-senang di sela kecaman
Aku tak peduli tidak akan kembali kepada keluarga
Kaum Muslimin enggan dan meninggalkan aku
Di wilayah Syam padang yang panas
Aku tidak butuh nasab dan kerabat
Kepada Allah putus segala kerabat
Di sana aku tidak butuh putik kurma
Juga kurma yang berguguran.'

Setelah aku mendengar syair-syair tersebut aku menangis. Kemudian Abdullah melempar aku dengan kerikil kecil dan berkata kepadaku, 'Celaka kamu, apa salahnya aku berdoa kepada Allah agar memberiku syahid, sementara kamu pulang ke kaumku dengan membawa kuda ini'."

Kembali kepada kisah di atas, setelah dua panglima pasukan muslimin menemui syahid, Abdullah bin Rawahah tampil menggantikan keduanya. Dia memposisikan dirinya sebagai panglima dan berusaha menenangkan diri setelah beberapa saat muncul keraguan, ketika itu dia berseru,

'Aku bersumpah demi Allah,
Akan maju ke medan perang baik suka maupun tidak
Seluruh manusia telah siap bertempur
Tapi kenapa sepertinya engkau, wahai jiwaku, menolak Surga
Telah tiba kesempatan yang aku idamkan
Bukankah engkau ini hanya setetes saja dari lautan

Ibnu Rawahah melanjutkan syairnya, beliau berkata,

Wahai jiwaku,
Sekiranya engkau tidak gugur di medan perang, engkau tetap akan mati
Inilah merpati kematian telah menyambutmu
Apa yang kau idam-idamkan telah engkau peroleh
Jika engkau ikuti jejak keduanya (dua panglima sebelumnya)
Engkau beruntung sebagai panglima sejati

Jika engkau mundur pasti sengsara dan rugi.”


Ketika ia telah berada di tengah medan pertempuran, keponakannya datang membawa daging, sambil berkata, "Isilah perutmu dengan ini, karena sudah beberapa hari ini kondisimu Rata Penuhmemprihatinkan." Kemudian ia mengambilnya lalu mengunyahnya. Tiba-tiba ia mendengar suara serangan yang hebat dari arah lain, ia berkata pada dirinya, "Engkau masih juga di dunia?" Lalu ia melemparkan daging itu dan mengambil pedangnya, untuk maju menyerang musuh sehingga terbunuh. Semoga Allah ridha kepadanya.
(sumber www.alsofwah.or.id)

20 Juni 2009

Shahibul Himmah

Islam adalah agama tinggi dan kemuliaan; agama kesungguhan dan kerja keras. Walau islam datang bukan untuk mempersulit manusia namun, islam bukan agama kesantaian dan bermalas-malasan. Dalam agama ini memang ada rukhshah, tapi kebiasaan keringanan dalam beramal bukanlah tindakan terpuji. Agama ini menuntut pengikutnya meraih ketinggian. Keinginan yang kuat mencari ketinggian disertai dengan usaha serius mencapainya disebut Himmah, Pemilikya disebut Shahibul Himmah.

Tidak disangsikan bahwa himmah ini di antara akhlak yang mengantar pada cita-cita besar. Akhlak inilah yang membesarkan individu, masyarakat, dan bangsa. Himmah ini membuat pemiliknya selalu mencari kesempurnaan, berusaha selalu menjauhi perkara remeh dan kerendahan. Sebaliknya, hilangnya akhlak ini pada skala individu akan mengerdilkan jiwa dan menjadikan mental masyarakat dan bangsa merosot. Kegemaran membesar-besarkan perkara remeh, konsentrasi pada hal-hal yang tidak memberikan manfaat dunia dan akhirat adalah salah satu tanda hilangnya himmah, baik skala individu maupun kolektif.

Betul, meraih cita-cita tinggi itu sangat melelahkan. Shahih, meraih kesempurnaan itu, tidak jarang, menuntut seseorang ‘ membuang’ jatah istirahatnya, bahkan harus menunda senyumnya. Tapi disana ada kenikmatan, disana ada kepuasan. Pemilik himmah mengerti betul bahwa kelelahan itu adalah kendaraan yang mesti ia kendarai suka atau tidak, demi mengantar ia ke ranah cita-cita. Bahkan sebelum ia mengecap manisnya hasil usahanya ia sudah terlebih dahulu merasakan kelelahan-kelelahan yang menerpanya. Dan penghulu nabi dan rosul saw pernah merasakannya, bahkan dalam banyak kesempatan kesulitan dan tantangan itu beliau saw nikmati.

Itu sebabnya islam sangat memberi perhatian terhadap masalah himmah ini. Topik-topik tentang menggenjot tekad, memacu kehendak, melambungkan cita guna meraih ketinggian dan kemuliaan disebutkan dengan apik dalam literatur para ulama kita. Tema-tema yang mengandung At-Targhib Wat Tar-hib mendapatkan tempat tersendiri dalam agama ini. Mulai dari hal yang kelihatan sepele tapi bernilai agung, sampai hal-hal besar dibahas secara jelas dalam karya-karya mereka. Namun, itu tidak berhenti sampai disini, ada fase selanjutnya yang bernama Irsyad dan Taujih (petunjuk dan arahan). Islam tidak bertutur sebatas konsep tentang bagaimana memotivasi, menyemangati, menyulut api himmah. Namun ada tingkat lanjutan, yang disebut Tanmiyah dan Tarqiyah (pengembangan dan penumbuhan). Semua bertujuan agar semangat beramal tidak kebablasan.

Ini mungkin sebabnya kenapa Allah tidak sekedar menurunkan kitab kepada setiap ummat. Tapi Allah juga mengirim Rosul yang berfungsi sebagai penterjemah dan penafsir ayat-ayat-Nya. Kita juga melihat Rasulullah saw tidak sekedar mengajak manusia masuk ke dalam islam ini, tapi beliau saw langsung terjun member arahan dan bimbingan kepada mereka yang telah menjawab seruan beliau. Beliau saw menjawab berbagai pertanyaan, baik dijawab langsung ataupun yang langsung dijawab oleh wahyu, bahkan tidak jarang beliau saw menjadi tempat curhat para sahabat yang memiliki masalah. Bahkan rosul terakhir ini bermu’aayasyah dengan mereka siang dan malam.

Apa yang terjadi? Mereka yang tadinya hanya sibuk dengan perdagangan, pertanian bahkan dengan gembalaan tiba-tiba tersulut himmahnya, ingin masuk surga. Saat itu juga pola pikir mereka berubah total. Mereka yang tadinya berpikir begitu “ sederhana “ dan konvensional; tentang ternak, bisnis, keluarga, tiba-tiba berpikir bagaimana agar manisnya hidayah islam itu bisa dinikmati mereka, semua meupakan buah dari himmah mereka.

Ya, kumpulan pengembala kambing itu serta merta berubah menjadi orang-orang besar dengan himmah mereka yang melangit.

Written by : Heri Prayitno Sumber: majalah Al-Bhasirah